Dalam implementasinya, moderasi beragama juga mengedepankan jalan dialog. Dengan cara itu, penanggulangan terorisme diharapkan tidak kontraproduktif, bahkan melahirkan radikalisme baru.
Apalagi, faktanya, program deradikalisasi belum mampu menyelesaikan problem radikalisme secara mendasar dan komprehensif. Yang terjadi justru adanya peningkatan kasus radikalisme.
Program deradikalisasi juga berpotensi untuk memosisikan sasaran kegiatan sebagai orang atau kelompok yang terpapar paham radikal. Stigma itu jelas tidak menguntungkan bagi mereka yang mengikuti program deradikalisasi.
Karena itulah, kritik terhadap program deradikalisasi terus disuarakan berbagai kelompok. Harapannya, ada perubahan pendekatan penanganan radikalisme dari deradikalisasi ke moderasi.
Dorongan untuk menjadikan moderasi sebagai alternatif mengonter radikalisme atau ekstremisme terus menguat. Dalam konteks kajian Islam, konsep moderasi dikaitkan dengan wasathiyah.
Hashim Kamali dalam The Middle Path of Moderation in Islam (2015), menyebut konsep wasathiyah dalam Al-Qur’an sebagai spirit moderasi dalam beragama, baik berkaitan dengan pemikiran, sikap, maupun perbuatan.
Wasathiyah Islam juga lazim digunakan di negara-negara minoritas muslim untuk menyebut posisi pertengahan di antara dua ekstremitas. Secara terminologi, moderasi berarti jalan tengah (middle path), sesuatu yang ada di tengah dari dua sifat buruk.
Dapat dicontohkan, sifat berani dipandang baik karena berada di antara karakter ceroboh dan takut.
Demikian juga sifat dermawan merupakan akhlak terpuji karena berada di antara karakter boros dan kikir. Dalam konteks praktik keagamaan, moderasi bermakna pemikiran, sikap, dan perilaku beragama dengan cara mengambil posisi pertengahan.
John L Esposito dalam What Everyone Needs to Know About Islam (2011), menipologikan muslim moderat dengan karakter progresif atau liberal. Muslim moderat dibedakan dari muslim konservatif, tradisionalis, dan fundamentalis.
Berbagai pandangan itu menegaskan bahwa moderasi beragama dapat menjadikan pemeluknya terhindar dari sikap ekstrem dan berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran agama. Al-Qur’an secara tegas melarang sikap berlebih-lebihan atau ekstrem dalam beragama (QS. Al-Nisa’:171 dan Al-Maidah:77).
Nabi Muhammad SAW juga bersabda, ”Jauhkanlah diri kalian dari berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama karena sesungguhnya sikap ghuluw telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (H.R. An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
TANTANGAN MODERASI BERAGAMA
Penyemaian nilai-nilai moderasi beragama kini mulai menghadapi tantangan. Sebagian pihak mencurigai program moderasi beragama sebagai bentuk pendangkalan akidah umat.
Apalagi, secara demonstratif, publik acap kali menyaksikan kelompok-kelompok keagamaan tertentu menunjukkan praktik sinkretisme melalui ritual lintas agama di gereja dan tempat ibadah lainnya.
Sebagian lagi memahami moderasi beragama layaknya ideologi sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Mereka umumnya menyebut tiga ideologi itu dengan ”sipilis”.