Pasca Tiga Hakim PN Surabaya Tersangka, Hakim-Jaksa Tegang

Minggu 27 Oct 2024 - 22:34 WIB
Reporter : Tim Redaksi
Editor : Syaiful Mahrum

JAKARTA - Penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) memicu ketegangan antara para hakim di pengadilan negeri dan para jaksa penuntut umum (JPU). Mulai Senin (28/10), para hakim akan lebih ketat ketika menyidangkan perkara pidana.

Salah satunya, PN Makassar yang telah menyebar broadcast melalui WhatsApp (WA) berisi beberapa poin "psywar”.

Di antaranya, jika JPU tidak hadir atau tidak menghadirkan terdakwa selama satu jam sejak jadwal sidang yang telah ditetapkan, majelis hakim akan menunda persidangan. Majelis juga meminta JPU menunjukkan barang bukti asli, bukan foto barang bukti. Bukan hanya itu. Para hakim juga akan mengabulkan eksepsi dari para terdakwa jika dakwaan subsider atau alternatif dari JPU hanya copy-paste dari dakwaan primer. Jika eksepsi dikabulkan, terdakwa sudah bisa bebas meski pokok perkara belum sampai disidangkan. Berdasar pengamatan dalam setiap persidangan, poin-poin tersebut sudah menjadi kebiasaan JPU dalam setiap persidangan dan selalu ditoleransi majelis hakim. Humas PN Surabaya belum menanggapi saat dikonfirmasi apakah pihaknya akan menerapkan kebijakan serupa. Kejaksaan menanggapi dengan mewanti-wanti para JPU agar lebih cermat dan berhati-hati saat menyusun surat dakwaan. JPU diminta mendokumentasikan persidangan mereka untuk mengantisipasi majelis hakim berpihak kepada terdakwa. Mereka juga dilarang bertransaksi dengan majelis hakim. Kepala Kejati Jawa Timur Mia Amiati tidak memungkiri mengenai ketegangan tersebut. Dia menjamin penangkapan ketiga hakim oleh Kejagung tidak berpengaruh terhadap proses persidangan di setiap pengadilan negeri. "Karena ini bukan berkaitan dengan institusi pengadilan, tapi berkaitan dengan person yang dapat dikategorikan sebagai oknum mafia peradilan," ujar Mia. Hakim dan Jaksa Akan Lebih Hati-Hati Secara terpisah, guru besar Fakultas Hukum Universitas Sunan Giri Surabaya Sunarno Edy Wibowo menilai bahwa ketegangan antara kejaksaan dan hakim-hakim di pengadilan negeri akan berdampak positif bagi penegakan hukum. Kedua pihak akan lebih berhati-hati dan tidak bermain mata lagi ketika menyidangkan perkara pidana. "Selama 30 tahun terakhir baru kali ini Kejagung menangkap hakim yang selama ini keduanya dikenal sebagai saudara. Peristiwa ini justru bagus karena hakim selaku pemutus dan jaksa selaku penuntut akan lebih hati-hati, tidak saling intip-intip lagi sehingga mereka akan lebih profesional dan nanti tercipta keadilan bagi masyarakat pencari keadilan," tutur Bowo. Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Yanto menuturkan, sebenarnya MA merupakan lembaga yang memiliki pengawasan paling ketat. Ada berbagai instrumen yang dibuat. Antara lain, kode etik, Badan Pengawas MA, dan peraturan MA tentang pengawasan dan hukuman. ”Badan pengawas itu setiap hari sidak, peraturan MA itu agar pengawasan melekat dari atasan berjalan. Atasan disanksi kalau anak buahnya melanggar,” paparnya. Namun, MA hanya memiliki serangkaian peraturan tertulis untuk pengawasan. Tidak ada perangkat yang bisa digunakan atau kewenangan menggunakan perangkat. ”MA sangat ketat, tapi kembali ke oknum. Kecuali kalau diberikan kewenangan dan perangkat untuk menyadap, tentunya akan baik,” jelasnya. Meski begitu, dia mengatakan bahwa MA adalah lembaga pengadil, bukan penegak hukum. ”Kalau diberikan kewenangan seperti itu, badan pengawas di MA bisa menyadap,” urainya. Sementara itu, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Fajar Mukti mengatakan, lembaganya memiliki perhatian besar dalam kasus suap hakim di Surabaya tersebut. ”Kami apresiasi Kejagung yang terus mengungkap praktik suap di lembaga peradilan,” terangnya. Yang pasti, dengan kasus tersebut diketahui bahwa integritas hakim dan aparat pengadilan masih lemah. Hal itu harus menjadi fokus sinergisitas antara KY dan MA. ”Kami dorong kolaborasi untuk mendeteksi area yang potensi terjadi penyalahgunaan wewenang,” jelasnya. (jpc)

Tags :
Kategori :

Terkait