Namun, pemerintah berhasil terus menurunkan porsi utang dengan mata uang valas terhadap total outstanding utang.
Dari 37,9 persen porsi utang valas di 2019, berhasil terus diturunkan menjadi hanya 27,9 persen per Agustus 2024.
“Jika terjadi kenaikan nilai tukar, kita terdampak tapi tidak langsung collapse gitu ya. Karena ada 27,9% saja yang terdampak, sisanya (72,1 persen tidak terdampak karena) dalam porsi rupiah,” ungkap Riko.
BACA JUGA:Ketua MPR Ajak Semua Pihak Sukseskan Pelantikan Presiden Prabowo dan Wapres Gibran
Selanjutnya, dari sisi jatuh tempo. Rata-rata tertimbang jatuh tempo utang (average time to maturity) pemerintah berkisar 7,95 tahun per Agustus 2024.
“Kami memandang untuk jatuh tempo, tenor yang ideal, yang save bagi pemerintah adalah antara 8 sampai 10 tahun. Untuk per Agustus (2024) ini kita di 7,95 tahun. Itu artinya rata- rata seluruh utang kita akan jatuh tempo di 7,95 tahun. Jadi, tidak tiba tiba melonjak di tahun pertama tinggi, tahun keduanya sangat rendah, tahun ketiganya sangat tinggi. Dan kita profiling utang kita dalam kondisi yang lebih merata,” ungkapnya.
Riko lanjut menjelaskan, hal penting lainnya yang perlu diperhatikan ketika berutang, khususnya dalam denominasi valas adalah peringkat kredit (credit rating) karena dengan credit rating yang baik, cost atau biaya yang dikeluarkan dapat lebih efisien.
Dengan kinerja pengelolaan utang yang baik, credit rating Indonesia telah mencapai investment grade dengan outlook stabil dari berbagai lembaga pemeringkat internasional.
BACA JUGA:Pertemuan Megawati-Prabowo Tak Transaksional, Menyoroti Sisi Kebangsaan
Terkini, S&P pada 30 Juli 2024 mempertahankan peringkat kredit Indonesia pada level BBB outlook stabil dengan pertimbangan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat, pengelolaan APBN yang prudent, dan beban utang pemerintah yang relatif rendah.
Pemerintah konsisten juga berhasil menjaga defisit APBN dalam batas aman. Hingga tahun 2019, defisit terjaga di bawah 3 persen PDB.
Di masa pandemi Covid-19 meskipun defisit melebar hingga 6,1 persen PDB untuk membiayai penanganan pandemi, dengan pengelolaan APBN yang prudent, fleksibel, dan responsif, defisit mampu kembali lebih cepat dari yang direncanakan, ke level 2,35 persen PDB. Dan terus membaik hingga mencapai 1,61 persen PDB di 2023.
Untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, defisit tahun 2025 didesain dalam batas yang dapat dikendalikan di kisaran 2,53 persen.
BACA JUGA:BEM FH Unila Diduga Pungli
Untuk membiayai APBN yang ekspansif, terarah, dan terukur, pemerintah merencanakan pembiayaan anggaran 2025 sebesar Rp616,186.1 triliun.
Terdiri dari pembiayaan utang senilai Rp775,867.5 triliun dan non utang senilai Rp159,681.4 triliun.Pembiayaan utang sebesar Rp775,867.5 triliun itu berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp642,562.0 triliun dan pinjaman senilai Rp133,305.4 triliun.