JAKARTA - Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk pembangunan rumah mandiri tanpa kontraktor dari 2,2 persen menjadi 2,4 persen dinilai akan menekan perekonomian Indonesia.
Menurut ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, kebijakan itu perlu ditinjau ulang, ketika sektor konstruksi kini sedang mengalami fase pelemahan.
"Kalau kita lihat sektor konstruksi atau real estate, kondisinya lagi melemah. Bukan ditambah beban, tetapi seharusnya dikasih intensif, sehingga sektor ini bisa tumbuh dan mendorong investasi di bidang bangunan," ujar Tauhid.
Selain itu, menurut Tauhid, penerapan kenaikan pajak PPN 2,4 persen ini dinilai cukup signifikan melemahkan sektor konstruksi, terutama dari segi daya beli masyarakat.
BACA JUGA:BMKG Lampung Warning Peningkatan Gelombang selama Sepekan Ini
"Situasi daya beli lagi melemah, sehingga kalau ada tambahan beban pada masyarakat akan mengurangi daya beli," jelas Tauhid.
Menurut Tauhid, ada dua syarat yang harus diperbaiki oleh pemerintah terlebih dahulu sebelum memberlakukan kenaikan pajak PPN jadi 2,4 persen.
Pertama adalah tingkat konsumsi masyarakat stabil dan berkembang, dan kedua daya beli masyarakat berada dalam level yang positif.
"Kalau dua syarat tadi masih jadi kendala, maka itu (PPN 2,4 persen, red) akan menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi," tuturnya.
BACA JUGA:PDI Perjuangan Targetkan Menang 80% di Pilkada 2024 Maluku
Kebijakan PPN akan diberlakukan kepada kegiatan pembangunan yang memenuhi syarat tertentu.
Syarat-syarat tersebut meliputi konstruksi utamanya terdiri dari beton, kayu, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja.
Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau untuk tempat kegiatan usaha; luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200 meter persegi.
Selain itu, kebijakan ini juga tidak akan dikenakan kepada masyarakat yang berencana untuk membangun rumah secara mandiri dengan luas di bawah 200 meter persegi atau rumah dengan skala yang kecil. (Beritasatu/pip)