Kaji Kembali Kenaikan Cukai Tembakau!
Ilustrasi rokok-FOTO ILUSTRASI DOK JAWA POS-
JAKARTA - Kebijakan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok dikritisi banyak kalangan. Salah satunya, pengamat kebijakan publik Bambang Haryo Soekartono yang mengingatkan dampak kenaikan cukai rokok bisa berpengaruh terhadap perekonomi masyarakat.
’’Harusnya Kementerian Keuangan paham kenaikan cukai rokok mengakibatkan kenaikan harga rokok sepanjanhg lima tahun terakhir dengan besaran rata-rata 50–80 persen," kata Bambang dalam keterangannya.
Menurutnya, jumlah pajak yang sudah dibebankan kepada perokok sudah sangat besar totalnya 73 persen dari harga rokok untuk pajak, yang terdiri 60 persen cukai rokok, 10 persen PPN dan 3 persen pajak daerah.
Penerimaan cukai rokok mencapai sekitar Rp 200 triliun sepanjang 2022. Penerimaan itu belum termasuk PPN dan pajak daerah yang nilainya juga cukup signifikan.
"Kita semua seharusnya faham bila perokok terjadi ketidakmampuan membeli rokok, maka dampak multiplayer effect ekonominya luar biasa besar di masyarakat. Sekitar 30 persen dari total UMKM yang berjumlah 64,2 juta sangat tergantung kepada konsumennya yang merokok," ucap Bambang yang mantan anggota DPR RO 2014-2019.
Bambang yang kini aktif di DPN HKTI Bidang Pengembangan Usaha dan Inovasi mengingatkan buruh pabrik rokok di Indonesia yang jumlahnya sekitar 5,9 juta dan petani tembakau yang berjumlah sekitar 600 ribu akan terdampak bila konsumsi mengalami penurunan.
"Untuk itu, hentikan kenaikan cukai rokok. Kita harus melindungi ekonomi Indonesia secara komprehensif, jangan hanya memikirkan sub sektor saja, pikirlah untuk keberhasilan dan kepentingan bangsa Indonesia secara luas," pungkas Bambang.
Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) menyuarakan desakan agar industri hasil tembakau (IHT) diberikan perlindungan. Terlebih, industri ini tengah menghadapi beragam tekanan dari proses penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang mengusulkan berbagai tambahan larangan dan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 10 persen pada tahun 2024.
Ketua Umum Gapero Sulami Bahar mengaku keberatan terhadap wacana RPP Kesehatan yang diskriminatif terhadap IHT. Dia menilai pasal-pasal dalam RPP tersebut yang ditujukan untuk mengatur industri ini sangat agresif dan mendiskriminasi tembakau, sehingga akan berdampak pada keberlangsungan perusahaan rokok ke depannya.
"Semua pasalnya sangat memberatkan. Kalau nanti diberlakukan, peraturan ini (RPP Kesehatan) akan berdampak kepada banyak perusahaan yang tutup, terutama pabrik kecil. Maka dari itu, kami memohon perlindungan dan meminta pemerintah mengeluarkan pasal tentang zat adiktif dari RPP Kesehatan," tegas Sulami, Kamis (9/11).
Sementara terkait rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) 2024, Gapero meminta agar kebijakan ini dipertimbangkan kembali dengan memperhatikan kemampuan industri saat ini. Pada akhir 2022 lalu, pemerintah telah memberlakukan kenaikan cukai secara multiyears untuk tahun 2023 dan 2024 sebesar 10 persen.
Kenaikan cukai ini telah berdampak buruk dengan turunnya setoran cukai sampai September 2023 sebesar 5,4 persen seiring dengan penurunan produksi rokok. Berdasarkan keterangan dari Kementerian Keuangan, penerimaan CHT sampai September 2023 tercatat hanya Rp 144,8 triliun.
"Mengingat kondisi industri saat ini mengalami keterpurukan atau sedang tidak baik-baik saja, terutama golongan I yang mengalami penurunan hingga 30 persen, sekiranya untuk tahun 2024 kebijakan cukai harus dievaluasi kembali," ujar Sulami.
Ia juga menyinggung pemberitaan di media belum lama ini yang menyebut bahwa pemerintah berencana mengutak-atik tarif cukai untuk 2024. Menurutnya, pemberitaan itu mengisyaratkan pemerintah ingin membuat tarif CHT lebih mahal lagi. Sulami dengan tegas menolak.
’’Kami menolak. Justru kami minta kalau bisa itu (tarif CHT) diturunkan," tegasnya. (jpc/c1/abd)