RAHMAT MIRZANI

Kamis Manis

-Ilustrasi Pixabay-

"Eh, Handi. Kok baru pulang?" tanya Bi Ida.

"Iya, Bi. Tadi pulang sekolah Handi latihan tari dulu."

"Kak Handi kan laki-laki, kok mau nari sih?" tanya Pika, seorang bocah kecil yang rumahnya tidak jauh dari rumahku.

"Ya, gak papa, dong. Laki-laki juga boleh menari. Itu sebagai bentuk kepedulian terhadap budaya daerah kita."

"Tapi, kata temanku, laki-laki yang ikut tari, itu kaya perempuan."

"Pika, kamu tidak boleh bilang begitu. Yang dilakukan kak Handi itu bagus. Zaman sekarang justru jarang sekali anak muda yang mau ikut melestarikan budaya," ujar ibunya Pika. 

"Ya, sudah. Handi sini ikutan nyeruit. Pasti kamu kelaparan," ajak Emak. Aku langsung bergabung dengan mereka dan menikmati seruit buatan Emak. Ibu-ibu di kampungku secara rutin, seminggu sekali, selalu mengadakan acara nyeruit bersama. Katanya, selain sebagai bentuk silaturahmi, nyeruit juga dapat melestarikan makanan khas Lampung ini. 

***

Hari berganti hari, kami selalu berlatih tari dengan bersungguh-sungguh. Tak terasa satu pekan lagi lomba tari dilaksanakan. Semakin hari aku semakin menyukai Novita. Interaksi kami semakin banyak saat berlatih tari. Novita sangatlah baik dan perhatian. Sikapnya membuatku semakin tertarik padanya. Bahkan, hari ini aku sudah merencanakan untuk pulang bersama Novita. Scoopy milik Bapak aku bawa untuk mengantar Novita pulang. Sepulang berlatih tari, hal yang aku tunggu datang juga. Terlihat Novita sendirian menunggu jemputan di depan sekolah. Seketika perasaanku menjadi campur aduk. Senang, malu, dan gugup. Jantungku terus berdebar cepat. 

"Kak Novi, mau pulang bareng aku?" akhirnya kata itu meluncur dari lidahku.

"Eh, Handi. Maaf ya, bukannya enggak mau, tapi aku telanjur sudah ada yang menjemput."

"Nah, itu dia orangnya," ucap Novita sembari menunjuk seorang pria yang mengendarai motor sport. 

"Aku duluan ya, Han."

Aku hanya mengangguk. Tubuhku lemas seketika. Tak kusangka, kukira Novita juga menyukaiku, tapi nyatanya ia malah pergi dengan orang lain. Yang membuatku makin kaget, ternyata orang itu adalah Dinta, teman sekelasku. Ah, musnah sudah harapan. Kalau sainganku Dinta, lebih baik aku menyerah. Aku terus menggerutu dalam hati. Perasaanku langsung berantakan dibuatnya. Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diri di kasur. Rasanya aku tak ingin melakukan apapun selain tidur sembari mengutuk takdir burukku hari ini. 

"Handi!" Emak memanggilku. Aku memilih diam dan pura-pura tertidur. Karena tak kunjung mendapat jawaban, Emak memanggilku dengan keras berkali-kali. 

Tag
Share