Starlink Beroperasi di Indonesia
BEROPERASI: Starlink milik Elon Musk beroperasi di Indonesia. --FOTO Instagram/starlink_idn
JAKARTA - Kehadiran layanan internet berbasis satelit milik Elon Musk, Starlink, terus menjadi pembicaraan publik terutama para pengusaha jasa internet atau Internet Provider (IP) di Indonesia.
Yang juga jadi sorotan terutama bagi industri yang sama yakni soalan frekuensi dan iuran biaya frekuensi Starlink di Indonesia.
Sebab, di awal kehadirannya, dengan semacam "endorse" dari pemerintah, Starlink dianggap mendapat karpet merah dalam menggelar layanannya di Indonesia. Hal ini yang kemudian memicu polemik.
Terkait hal tersebut, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Ismail menjelaskan bahwa besaran Biaya Hak Penggunaan (BHP) Spektrum Frekuensi Radio berdasarkan Izin Stasiun Radio (ISR) untuk layanan satelit.
Menurut Ismail, hal tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (PP No. 43 Tahun 2023).
"PP Nomor 43 Tahun 2023 tersebut ditetapkan setelah melalui serangkaian konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan dan tahapan harmonisasi dengan sejumlah kementerian terkait lainnya," jelasnya di Jakarta Pusat baru-baru ini.
Ismail menyatakan bahwa pengenaan BHP ISR untuk semua penyelenggara satelit merujuk pada regulasi yang sama, yaitu PP Nomor 43 Tahun 2023 dan aturan pelaksanaannya.
Dengan demikian, BHP ISR yang dikenakan untuk Starlink bersumber dari dasar hukum sama seperti BHP ISR untuk penyelenggara satelit lain.
"Besaran BHP ISR yang dikenakan kepada Starlink yang benar adalah sekitar Rp23 miliar per tahun," tegasnya menanggapi informasi pemberitaan di media massa yang menyebutkan angka BHP di kisaran Rp2 miliar per tahun.
Ismail juga menjelaskan peran dalam melaksanakan pengenaan BHP ISR sesuai dengan aturan yang ada.
Menurutnya, peran dari Kemenkominfo adalah menghitung dan menetapkan besaran BHP ISR untuk penyelenggara satelit dengan berdasarkan pada formula dan indeks yang telah ditetapkan dalam regulasi, baik PP Nomor 43 Tahun 2023 maupun aturan pelaksanaannya, untuk kemudian ditagihkan kewajiban BHP tersebut kepada penyelenggara satelit bersangkutan.
Ismail menegaskan bahwa BHP Seluler yang melekat pada Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) berbeda dengan BHP Satelit yang berupa ISR.
Menurutnya, BHP IPFR seluler bersifat eksklusif, dalam artian satu pita frekuensi, satu pemegang izin, untuk satu wilayah layanan.
Sedangkan BHP ISR Satelit tidak bersifat eksklusif, sehingga satu pita frekuensi tertentu tidak hanya digunakan oleh satu pemegang izin, melainkan bersama-sama dengan penyelenggara satelit lain.