ICW Sebut Hanya 6 Kasus Korupsi yang Dijerat Pasal TPPU
--
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyayangkan langkah aparat penegak hukum yang belum fokus menggunakan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Peneliti ICW Diky Anandya menyatakan bahwa dari 791 kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum, hanya enam kasus yang terjerat pencucian uang selama 2023.
’’Hanya ditemukan enam kasus dan tujuh tersangka yang dikenakan pasal pencucian uang,” kata Diky dalam konferensi pers di kantor ICW, Jakarta, Minggu (19/5).
Diky menjelaskan, penegak hukum lebih sering menggunakan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor untuk menjerat pelaku korupsi. Hal ini berbanding lurus dengan tingginya potensi nilai kerugian negara yang berhasil terungkap.
“Sayangnya, semangat menggunakan pasal kerugian negara atau perekonomian negara ini tidak diikuti dengan semangat untuk memulihkan aset hasil kejahatan korupsi ke kas negara. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari langkah penegak hukum yang belum mengarusutamakan pengembalian aset hasil kejahatan melalui penggunaan instrumen pasal pencucian uang,” ucap Diky.
BACA JUGA:Harkitnas, UIN RIL Sambut Kebangkitan Kedua Menuju Indonesia Emas
Adapun enam kasus dan tujuh tersangka yang dijerat Pasal TPPU itu, kata Diky, semua ditangani oleh KPK. ’’Pertama, kasus dugaan pencucian uang oleh kepala Kantor Wilayah BPN Riau dengan tersangka Muhammad Syahrir. Kedua, kasus dugaan pencucian uang oleh Kepala Bea Cukai Kota Makassar Andhi Pramono,’’ katanya.
Kemudian ketiga, kata Diky, kasus dugaan pencucian uang oleh mantan Gubernur Papua Lukas Enembe dan
Rijatno Laka. ’’Keempat, kasus dugaan pencucian oleh pejabat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo. Kelima, kasus dugaan pencucian yang oleh Hakim Agung Gazalba Saleh. Keenam, kasus dugaan pencucian uang oleh Direktur PT Amarta Karya Catur Prabowo,’’ paparnya.
BACA JUGA:Waspada, Kasus DBD di Lampung Barat Meningkat Tajam
Diky menyebut, minimnya penerapan pasal pencucian uang dalam kasus tindak pidana korupsi mengindikasikan bahwa kompetensi sumber daya manusia (SDM) aparat penegak hukum masih menjadi permasalahan utama untuk mendukung pemberantasan korupsi, terutama di lingkungan kejaksaan dan kepolisian. “Permasalahan ini perlu menjadi catatan penting guna perbaikan sistem pemberantasan pencucian uang ke depan,” tegasnya.
Terlebih pada Oktober 2023, kata Diky, Indonesia telah secara resmi ditetapkan sebagai negara anggota Financial Action Task Force on Money Laundering and Terrorism Financing (FATF). ’’Hadirnya itu, satunya dengan mendorong pemanfaatan UU TPPU dalam perkara korupsi perlu dilakukan untuk menjaga komitmen dan kepercayaan sebagai negara anggota FATF.
Selain dorongan untuk peningkatan kapasitas SDM aparat penegak hukum, kata Diky, hal lain yang tak kalah penting adalah mengeluarkan paket regulasi yang memperkuat kerangka hukum yang menunjang kerja pemberantasan korupsi.
’’Misalnya dengan merevisi UU Tipikor yang secara substansi sejumlah peraturannya perlu mengadopsi beberapa ketentuan yang sudah digariskan dalam perserikatan bangsa-bangsa menentang korupsi (United Nations Convention Against Corruption–UNCAC). Sejak meratifikasi konvensi tersebut melalui pengesahan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006, Indonesia belum sama sekali melakukan harmonisasi sejumlah ketentuan rekomendasi UNCAC ke dalam hukum nasionalnya,” ungkap Diky. (jpc/c1/ful)