Ijazah Pesantren Harus Berlogo Garuda
Sebagai Bentuk Komitmen NKRI
JAKARTA - Pendidikan di pesantren semakin mendapat pengakuan negara seiring terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Sebaliknya, pesantren juga harus meneguhkan komitmennya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai bentuk perwujudannya, ijazah yang dikeluarkan ponpes harus mencantumkan lambang negara Indonesia, yaitu burung garuda.
Kewajiban ijazah pesantren berlogo garuda itu disampaikan dalam sosialisasi UU No. 18/2019 tentang Pesantren di Pesantren As’adiyyah, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, secara virtual, Sabtu (4/11). Dalam kesempatan itu disampaikan pesantren juga harus mengakomodasi pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam kurikulumnya.
Kewajiban pencantuman lambang negara dalam ijazah pesantren itu sudah diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 31 Tahun 2020. Tepatnya pada Pasal 26 Ayat 2 yang disebutkan bahwa ijazah yang dikeluarkan oleh pesantren harus mencantumkan lambang negara di bagian paling atas sebagaimana format yang dicontohkan.
Direktur Pesantren Modern Ikatan Masjid Musalla Indonesia Muttahidah Makassar Amrah Kasim mengatakan, pesantren memiliki kebebasan penuh menentukan segalanya. Mulai kurikulum, sistem, hingga manajemennya. Akan tetapi, tetap dalam bingkai kesetiaan kepada negara Republik Indonesia.
“Ini sebenarnya menjadi kewajiban semua elemen bangsa ini, termasuk pondok pesantren yang kurikulumnya berbasis kitab-kitab kuning,” jelasnya.
Amrah Kasim mengatakan, keberadaan pesantren cerminan dari Islam rahmatan lil alamin. Baginya pesantren sudah lama menjadi elemen pendidikan nasional dan berkontribusi besar mendidik anak-anak bangsa sejak era sebelum kemerdekaan.
Akan tetapi, di sisi lain terdapat pesantren yang mendapat pengaruh transnasionalisme Islam. Sehingga tidak mengakui kedaulatan negara, melarang upacara bendera, dan menilai pemerintah taghut. “Majelis Masyayikh akan terus berkomitmen menjaga pesantren agar tetap menjadi tempat yang mengedepankan ajaran Islam yang damai,” katanya.
Kemudian jika ada kekerasan atau radikalisme di pesantren, maka Majelis Masyayikh pertanyakan komitmen pesantren kepada bangsa. Karena kekerasan atau radikalisme itu bertentangan dengan UU Pesantren.
Pada kesempatan yang sama, dosen Ma’had Aly Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo Muhyiddin Khotib meminta pesantren menerima rekognisi pemerintah ini secara positif. Dukungan pemerintah bukan bentuk intervensi kepada pesantren. Karena tidak ada satu pun dari sistem Pendidikan pesantren yang diubah oleh pemerintah. Justru pengakuan pemerintah memberi angin segar bagi lulusan pesantren agar tidak teralienasi dalam lingkup yang sempit.
Dengan pengakuan pemerintah ini, santri bisa melanjutkan sekolah ke manapun, melamar kerja di manapun, bahkan dapat melamar sebagai anggota TNI-Polri dan kedinasan lainnya. Dengan legalitas yang diakui, maka isu yang diperjuangkan pesantren hanyalah tentang kualitasnya. ’’Melalui peran Majelis Masyayikh dan Dewan Masyayikh, diharapkan pesantren dapat terus berkembang dan memberikan pendidikan yang berkualitas sesuai dengan komitmen kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang damai,” urainya. (jpc/c1/ful)