Ramadan dan Estetika Kemanusiaan

Ichwan Adji Wibowo, S.Pt., M.M.--

 Sepanjang tahun, karena ketidakberdayaannya dalam menjaga keseimbangan kosmik di dalam dirinya, boleh jadi manusia akan terperangkap dalam jebakan yang dalam derajat tertentu, bisa secara destruktif merusak tugas dan misi utamanya.

 Maka Tuhan hadirkan masa satu bulan yakni bulan Ramadan. Bulan di mana Tuhan mewajibkan setiap manusia beriman untuk mengendalikan diri, tidak memenuhi hasrat nafsunya baik makan minum, serta nafsu seksualitasnya selama waktu tertentu. 

Di saat bulan yang sama Allah SWT secara khusus akan menerima setiap ketaatan hambanya (attoati maqbulloh).

Dan di bulan yang sama, Tuhan juga menyediakan reward atas setiap kebaikan apapun yang dilakukan manusia, dengan hitungan pahala yang berlipat ganda. (Al hasanah mudhoafah).

Di bulan Ramadan, Tuhan juga akan secara khusus memberikan keluasan ampunan kepada setiap ketidakberdayaan hambanya yang kerap terjerembab dosa sepanjang tahun dengan diberikan ampunan (Al dzunub magfurah). 

Pemberian kesempatan menjalani puasa untuk manusia, juga sesungguhnya membawa pesan Tuhan, bahwa manusia itu tetaplah hamba, makhluk yang diciptakan, yang lemah, yang setiap saat terus bergantung atas penciptanya.  

Tuhan hendak menyampaikan:  sekadar tanpa makan minum yang selalu Ku sediakan saja, kamu amatlah lemah, dan tak berdaya. 

Maka untuk membangun kesadaran atas eksistensi kemanusiaannya, engkau harus merasakan serba keterbatasan dan kekurangan sebagai hamba.

Puasa sebagaimana ibadah mahdoh yang lain, selalu memiliki tugas dan fungsi ganda, sebagai wujud ekspresi penghambaan sekaligus berfungsi memastikan manusia tidak terjebak pada sifat dan perilaku yang destruktif, dan merusak eksistensi kemanusiaannya.

Melalui puasa, Allah menyediakan mekanisme agar manusia memahami siapa dirinya, serta sifat, tugas, fungsi dan kedudukannya. 

Pada saat yang sama, untuk memenuhi tugas utamanya sebagai khalifah, hamba yang terpilih (beriman) harus tak henti terus mengupaya membangun karakter baik, menjadi manusia yang selalu menebar kebaikan. 

Senantiasa mampu mengendalikan diri dari kecendrungan sifat dan perilaku destruktif serta memiliki empati, simpati dan kepedulian atas manusia lainnya. 

Begitulah Tuhan menghadirkan puasa agar manusia tidak saja taat atas seluruh perintah Tuhan. Tetapi juga pada saat yang sama hendak mendidik manusia agar memastikan memiliki hasrat memuliakan kehidupan. Itulah puncak estetika kemanusiaan-Nya. (gie/c1/fik)

Tag
Share