Senin, 23 Sep 2024
Network
Beranda
Berita Utama
Ekonomi Bisnis
Lampung Raya
Politika
Olahraga
Metropolis
Lainnya
Advertorial
Edisi Khusus
Iklan Baris
Sosok
Bursa Kerja
Arsitektur
Wisata dan Kuliner
Otomotif
Teknologi
Lifestyle
Kesehatan
Hobi
Kriminal
Pendidikan
Edisi Ramadan
Network
Beranda
Lainnya
Detail Artikel
Lamban untuk yang Berpulang
Reporter:
Rizky Panchanov
|
Editor:
Rizky Panchanov
|
Jumat , 02 Feb 2024 - 21:26
-Ilustrasi PIXABAY.COM-
lamban untuk yang berpulang karya salma naurany islami, sma negeri 10 bandarlampung gelap. ratih entah berada di mana sekarang. dari kejauhan, tampak rumah berdinding kayu, pintunya terbuka lebar. sekilas terlihat seorang wanita paruh baya memanggilnya. ratih berlari mendekat ke arah wanita itu, tapi semakin ia berlari semakin jauh pula rumah itu. "ibu! ibu! tunggu ratih!" teriaknya kencang. ratih terbangun dari tidurnya. ia seperti kebingungan, matanya menyapu setiap sudut kamarnya. rupanya ia baru saja bermimpi. wanita itu mengatur napasnya, kemudian turun dari ranjangnya. ia memastikan suaminya tidak terganggu. ia lalu menuju meja dan menyalakan laptop. saat ini, pikirannya adalah menyembunyikan rasa kehilangan di mimpinya dengan pekerjaan yang sangat dicintainya itu. baca juga:bronze "ratih, pulanglah! ibu tadi menelepon. sudah beberapa kali kamu membatalkan janji kepada ibu. tidak etis rasanya jika kali ini juga tidak ditepati." abimana mengusap lembut pundak ratih yang sedang terduduk berhadapan dengan kertas-kertas yang bertumpuk di atas meja. tangannya sedari tadi masih menari di atas keyboard. diam membelenggu ratih. sudah beberapa kali sang ibu meminta ratih pulang. jumlah penolakan ratih sebanding dengan permintaan ibunya itu. selain karena pandemi, juga adanya larangan mudik jelang lebaran. sejujurnya, ratih terlalu menikmati pekerjaannya saat ini. meskipun terkadang rasa rindu kepada sosok wanita paling berjasa dalam hidupnya itu muncul, hal itu tergantikan dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. ratih menopang dagunya sambil berpikir. tanpa sadar, tepukan pelan dari abimana menyadarkannya. "bagaimana? kamu pulang? azam juga pasti mau melihat kampung halaman ibunya." ucapan abimana langsung dibalas celoteh riang azam yang berada di gendongan ayahnya. "iya, aku telepon ibu dulu." baca juga:manusia pilihan darminah terbaring lemah di atas ranjang. tatapan kosongnya sudah menggerogoti rumah berdinding kayu itu sejak beberapa hari lalu. jemari keriput perempuan itu menggenggam ponsel sepanjang malam. gelisah sudah menjadi sahabatnya saat ini. rasa cemas tak henti membayanginya. putrinya yang tidak kunjung memberikan kabar adalah beban utama dalam pikiran darminah. wanita lanjut usia itu perlahan memaksa tubuh rapuhnya bangun dari tidur. ia terduduk di pinggir ranjang. sesaat, ia melirik segelas air dan obat-obatan yang belum tersentuh di atas meja reyot di samping ranjang. ia memijakkan kakinya di atas lantai dingin yang menusuk kulit keriputnya. dengan sisa tenaga yang dimiliki, perlahan ia melangkah menuju teras rumah. hawa dingin seketika menggerogoti tubuhnya ketika pintu rumah itu dibuka. rintik hujan membentuk kubangan air di pekarangan rumahnya. darminah duduk di kursi kayu sambil memejamkan mata sesaat. entah mengapa saat ini indera pendengarannya seperti menangkap suara yang samar. suara anak kecil yang sedang bermain air hujan sambil berceloteh tanpa henti. ia membuka matanya ketika mendengar panggilan ibu terucap oleh anak kecil itu. pandangannya sibuk mencari sumber suara sambil memegang erat kain yang ia sampirkan di pundak. untuk sesaat, ia sadar bahwa itu hanya buah dari rindunya yang saat ini membuncah hebat. darminah mengembuskan napas perlahan sembari menenangkan dirinya. bunyi dering ponsel dari dalam rumah membuat pikirannya tersentak. dengan sedikit tergopoh, ia segera mencari sumber suara dering itu dan mengangkat telepon menjawab panggilan. "asalamualaikum, nak. bagaimana? kamu baik-baik saja, kan? kamu jadi pulang, kan?" pertanyaan beruntun itu dihiasi dengan senyum yang tidak dapat terelakkan. perasaan lega langsung memuncak saat mendengar suara putrinya di seberang telepon. perempuan tua itu sangat sumingrah ketika membayangkan polah anak dan cucunya. ia membayangkan bagaimana suasana rumahnya ketika ratih, putri semata wayangnya pulang bersama cucu kesayangan. kehadiran azam, cucunya, baru beberapa bulan lalu dirayakan. "ibu tunggu ya, ratih. kamu hati-hati di jalan. ibu tunggu di rumah. nanti malam kita nyeruit bersama tetangga biar makin ramai." selanjutnya, kata-kata yang keluar dari ratih hanya menjadi angin lalu bagi darminah. pandangannya menatap foto yang berbingkai kayu di atas meja. diletakkannya ponsel itu di atas meja. darminah menatap foto masa kecil ratih. ratih yang kala itu sedang memakai baju tradisional lampung disertai siger yang menghiasi kepalanya saat acara hari kartini di sekolah. diusapnya foto itu. rindu yang dirasakannya sudah tidak terbendung lagi. semenjak pandemi yang merajalela, ratih belum pernah pulang ke rumah itu. tangan darminah kembali terulur meraih pigura foto yang membingkai momen sakral hidupnya. di dalamnya, tampak sepasang pengantin yang baru saja menikah. keduanya tampak saling tersenyum malu satu sama lain. darminah terlihat empat puluh tahun lebih muda. ia terlihat sedang memakai kebaya putih yang membalut tubuhnya. bagian bawah dililitkan kain tapis dengan motif benang emas dan perak. tak lupa siger yang sangat menawan menghiasi kepalanya. gelang, kalung, dan hiasan di pinggangnya yang bernuansa serba emas pun semakin menambah kesakralan. di sampingnya, seorang lelaki tampak menawan memakai baju putih berlengan panjang. bahunya dilingkari selendang bujur sangkar. di bagian bawah, sang lelaki memakai celana panjang hitam yang dilapisi sarung tumpal berbahan dasar benang emas. di bagian luar, sarung diikat sehelai kain putih dengan rumbai yang tinggi. "asalamualaikum, nyai." suara arya yang lantang mengusir lamunan bu darminah. ia menatap arya yang sudah dianggapnya seperti cucu sendiri. "ini ikan pesanan nyai. tadi ibu sudah membumbui ikannya. kalau ini, uang hasil penjualan kain tapis kemarin, nyai." darminah mengangkat daun pisang yang menutupi ikan. ikan itu tampaknya sudah siap dibakar di atas tampah. arya mengeluarkan sejumlah uang dan menyerahkan ke tangannya. darminah menyerahkan sebagian uang yang ada di tangannya agar kembali ke tangan arya. "jangan, nyai. buat kainnya susah." arya mengembalikan sejumlah uang itu sambil menggelengkan kepalanya. darminah tersenyum tipis sambil menyelipkan uang itu di tangan arya. arya tak kuasa lagi untuk menolak pemberian bu darminah. ucapan terima kasih tak berhenti meluncur dari mulut arya. arya pergi ke pekarangan rumah membantu membersihkan halaman yang tampak penuh oleh daun-daun kering yang berjatuhan akibat hujan deras dan angin kencang pagi tadi. darminah berjalan keluar menghampiri arya. "arya, nanti malam nyai mau mengadakan acara silaturahmi di rumah. kita nyeruit sama-sama. tolong sampaikan ke tetangga sekitar agar datang ke rumah nyai nanti malam, ya." ucapan darminah langsung disambut anggukan mantap arya. tak butuh waktu lama, ia segera menyebarkan amanah tersebut. arya berjalan dari rumah ke rumah, menyampaikan pesan bu darminah. ratih mematikan mobilnya. sambil menggendong azam yang tampak berceloteh memperhatikan objek baru yang ada di depannya, ratih menatap rumah yang masih sama dalam ingatannya. perlahan, ia melangkah masuk ke teras rumah. ditatapnya ruang yang menjadi saksi hidup ratih sejak dilahirkan ke dunia. kenangan memenuhi rumah itu tanpa celah sedikit pun. setiap sudut sangat berarti. "asalamualaikum, ibu," suara ratih membuat darminah bergegas cepat menuju teras rumah. tampak putrinya tengah menggendong azam. kehadiran cucunya meluruhkan hati darminah. darminah langsung bergerak cepat, memeluk erat ratih, lalu mengambil alih cucunya dari gendongan putrinya itu. wajah darminah tidak dapat disangkal, betapa bahagianya ia saat ini. sambil membawa tas di genggaman, ratih beriringan masuk ke dalam rumah masa kecilnya itu. rak kayu yang tampak lapuk terlihat jelas dari pintu yang terbuka. terpampang jelas jejeran buku penghuni rak yang menyimpan kenangan ratih. diraihnya sebuah buku yang menguning. buku pengantar tidur ratih. ratih menyusuri jejeran buku yang berdebu. karya abadi sang ayah tertulis indah di setiap lembarnya. tak jauh dari tempatnya berdiri, terdapat sertifikat penghargaan terbingkai rapi di dinding rumah. langkah ratih melambat ketika melihat setiap sudut rumahnya. ia seperti melihat dirinya sedang bermain bersama ibunya. bahkan, coretannya di dinding ketika masih balita itu masih terpampang jelas. ratih menatap daun pintu berwarna biru langit di depannya. senyum kecil menghiasi wajahnya ketika melihat penataan kamar yang masih sama. diletakkannya dua tas di atas ranjang. setelah mengganti baju, ratih keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. sesaat, ratih merasakan sentuhan di pundak yang membuatnya langsung menengokkan kepala. di sana, darminah tersenyum kecil. "azam sudah ibu tidurkan di kamar. kamu bantu ibu menyiapkan acara nanti malam, ya?" ratih mengangguk paham. semakin senja, tetangga mulai berdatangan membantu di dapur. beberapa orang sibuk membuat sambal. ada tiga jenis sambal yang akan disajikan, yaitu sambal terasi, sambal tempoyak, dan sambal mangga. beberapa orang sibuk membakar ikan. sementara yang lain, menggoreng tahu dan tempe. di ruang tamu, arya membawa beberapa lembar daun pisang yang cukup lebar. ia menatanya di atas lantai yang dilapisi tikar pandan. "ini sudah semua, bu? ratih bantu menyajikan lauknya, ya." acara dimulai dengan doa yang dipimpin oleh ustaz dan dilanjutkan dengan nyeruit. "ibumu itu harus diingatkan minum obat, tih." kata bu yantri. bu yantri menatap ratih dengan senyum. ratih mengangguk paham sambil melangkah mengantarkan bu yantri meninggalkan rumah. sesaat, ratih terdiam menatap setiap sudut rumah. langkahnya terhenti di rak tua. diambilnya sebuah buku cerita pengantar tidurnya. di dalamnya terpampang fotonya sedang digendong ayah. ratih menatap pintu kamar yang sedikit terbuka. di atas ranjang, darminah duduk menghadap lemari kaca sambil merapikan kain. "itu kain yang ada di foto pernikahan ibu dan bapak, kan?" darminah tersenyum sembari melipat kain dan memasukannya ke dalam lemari tua. "temani ibu tidur ya, nak.” ratih mengangguk. dibaringkan tubuhnya di atas ranjang. darminah memejamkan matanya sambil menggenggam tangan ratih. tangannya enggan melepas putrinya. ratih tersenyum tipis melihat ibunya tertidur lelap. ia beristirahat panjang. (*)
1
2
3
4
»
Last
Tag
# cerita pendek
# cerpen
# sms
# sastra milik siswa
Share
Koran Terkait
Kembali ke koran edisi Koran Radar Lampung Edisi Minggu 4 Februari 2024
Berita Terkini
Inilah 34 Pejabat Administrator dan Pengawas yang Dilantik
Metropolis
7 detik
Sepekan, 11 Kasus Kebakaran di Bandarlampung
Metropolis
2 menit
Korupsi DD Rp280 Juta, Kades Baturaja Dituntut 2,6 Tahun
Metropolis
4 menit
Lahan Pertanian di Bandarlampung Menyempit
Metropolis
5 menit
Seorang Sopir Tewas Ditikam
Metropolis
7 menit
Berita Terpopuler
Se-Lampung, Hari Ini Undian Nomor Urut Paslonkada
Berita Utama
23 jam
Iklan Baris 24 September 2024
Iklan Baris
4 jam
Cek Jadwal SKB dan SKD CPNS Kemenag di Sini
Berita Utama
8 jam
Penerapan Sosial Media Marketing di Desa Wisata Pulau Legundi
Berita Utama
23 jam
Soal Dugaan Gratifikasi Jet Pribadi Kaesang, KPK Belum Bisa Ungkap
Berita Utama
11 jam
Berita Pilihan
Hari Libur Berpengaruh Terhadap Kunjungan Wisata
Ekonomi Bisnis
1 hari
Begini Cara Sanggah Tes CPNS 2024, Jangan Sampai Salah
Berita Utama
3 hari
Update Rangking Timnas Indonesia, Garuda Naik 4 Peringkat, Salip Posisi Malaysia
Olahraga
3 hari
Tambah Pundi Medali di PON 2024, Kick Boxing Putri Lampung Raih Perak
Olahraga
3 hari
Penyelundupan 84,75 Kg Kokain Digagalkan TNI-AL
Berita Utama
3 hari