Proyek Breakwater Dibantah Mangkrak

BANDARLAMPUNG - Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PKSA Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji dan Sekampung (BBWSMS) Lampung Mansyur angkat bicara terkait proyek breakwater di Kalianda, Lampung Selatan. Menurutnya, proyek yang dikerjakan PT Mina Fajar Abadi (MFA) tersebut tidak mangkrak, melainkan berstatus kontrak kritis.

’’Jadi bukan mangkrak, tetapi statusnya kontrak kritis," jelas pria yang akrab disapa Pak Uung itu saat dikonfirmasi Radar Lampung, Selasa (31/10).

          Dijelaskannya setelah menang tender, PT MFA melangsungkan pekerjaannya oleh orang di luar manajemen. ’’Jadi ada pihak di luar manajemen PT MFA yang diberi surat kuasa untuk pengerjaan," ungkapnya.

          Untuk itu, pihaknya telah melakukan pemanggilan terhadap PT MFA terkait permasalahan tersebut. Dia juga menegaskan dalam pemanggilan tersebut didapati kesepakatan bahwa PT MFA melalui Bayu akan meneruskan proyek tersebut. ’’Iya, mereka menerangkan akan melanjutkan pekerjaannya. Oleh Pak Bayu itu," katanya.

          Dalam kesepakatan itu, jelas Uung, pihak PT MFA akan melanjutkan proyek mulai Senin, 30 Oktober 2023. Namun, lanjutnya, sebagaimana yang disepakati bahwa PT MFA telah melewati satu hari dari janjinya.

’’Harusnya mereka sudah mulai kemarin (Senin, 30/10), tetapi kan ternyata sudah lewat dari satu hari ini," ujarnya.

          Untuk itu, Uung menyampaikan bahwa pihaknya akan melaporkan keterlambatan dari PT MFA kepada pimpinan, dalam hal ini Kepala BBWSMS.  Laporan tersebut dilakukan sebagai bahan pertimbangan pimpinan dalam menentukan tindakan selanjutnya. ’’Iya, hari ini (kemarin) akan kita laporkan ke pimpinan," katanya.

          Terkait gaji pekerja yang belum dibayarkan oleh PT MFA, Uung menyampaikan bahwa persoalan itu bukan ranah BBWSMS Lampung. Itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari PT MFA selaku perusahaan yang mengerjakan proyek tersebut. ’’Soal gaji itu sebenarnya bukan ranahnya kita di BBWS," ujarnya.

          Namun demi membantu para pekerja, pihaknya turut mendorong PT MFA untuk menyalurkan hak mereka. ’’Tetapi tetap kita dorong untuk segera membayarkan gaji para pekerja," katanya.

          Uung juga memberikan penjelasan terkait dua proyek lain di pantai yang ada di Kalianda. Di mana terdapat dua perusahaan penyedia material yang diduga menyuplai material dari tambang ilegal.

          Terkait hal tersebut, Uung membantahnya. Menurut dia, dua perusahaan itu telah memiliki izin dan bukan ilegal.

          Dijelaskannya terdapat proyek yang sama di Desa Canti dan Desa Banding yang dikerjakan oleh PT Loeh Karya Perkasa. Perusahaan tersebut menggunakan dua perusahaan, yakni PT Siger Area Zambrud dan PT Hajar Nusantara Abadi (HANA), sebagai pemasok material bebatuan. Di mana bahannya ditambang di tiga desa berbeda, yaitu Desa Canti, Banding, dan Desa Waymuli.

          Uung menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan verifikasi terhadap izin dari dua perusahaan tersebut. Keduanya memiliki izin untuk melakukan penambangan. Untuk PT SAZ disebutkan izinnya dikeluarkan DPMPTSP Provinsi Lampung.

Sementara, PT HANA izinnya dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republil Indonesia Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara.   Itu dibuktikan dengan surat Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 93/1/SIPB/PMDN/2022. Tentang persetujuan pemberian surat izin penambangan batuan jenis tertentu untuk komoditas andesit kepada PT Hajar Nusantara Abadi.

Serta surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Lampung Nomor 540/1729/KEP/V. 16/2020 tentang Persetujuan Perpanjangan Ke-1 Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batu Andesit kepada PT Siger Area Zambrut.

          Uung juga menjelaskan atas surat tersebut dinyatakan bahwa dua perusahaan melakukan penambangan secara legal. ’’Surat itu berlaku selama lima tahun," tutupnya. (rif/c1/rim)

 

Tag
Share