RAHMAT MIRZANI

Soal Tarif PBJT, Pengusaha Hiburan Perlu Keringanan Pajak

KERINGANAN: Pengusaha hiburan dinilai butuh keringanan pajak. -FOTO IST-

Sebab, karaoke keluarga hanya digunakan untuk bernyanyi bersama anak-anak, orang tua, saudara, dan kolega.

“Belajarlah kita dari Thailand. Rakyat Bali tidak minta apa-apa, rakyat Indonesia tidak minta apa-apa. Kami bisa menyampaikan air mata rakyat sedang mengalir deras. Tolong dengarkan rakyat,” tandasnya.

Dalam kesempatan itu, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana menyatakan, kurang tepat jika tarif PBJT jasa kesenian dan hiburan naik. Yang tepat adalah secara umum PBJT justru turun. 

Peraturan sebelumnya yakni UU Nomor 28/2009 mengatur tarif PBJT paling tinggi 35 persen. Melalui UU HKPD tarif pajak paling tinggi harus 10 persen.

“Jadi PBJT ini isinya banyak sekali. Dari satu sampe 12. Nomor satu adalah pajak bioskop. Dari paling tinggi 35 persen, sekarang Pemda (pemerintah daerah) mengenakan paling tinggi 10 persen,” terang Lydia.

Kemudian, pagelaran busana pada undang-undang sebelumnya masuk kategori tertentu atau khusus yang dikenakan tarif sampai 75 persen. Saat ini dengan di UU HKPD tarif tertingginya sampai 10 persen. 

“Jadi pagelaran busana, kontes kecantikan, dan konser yang semula Pemda boleh menetapkan tarif paling tinggi 35 persen, sekarang 10 persen,” imbuhnya.

Saat ini yang lagi ramai itu di pasal 58 UU HKPD ayat 1 urutan nomor 12. 

Hanya itu yang dikhususkan sebagai jasa hiburan tertentu. Yaitu, bar, club malam, diskotik, karaoke, dan mandi uap/spa.

Lydia menjelaskan, pajak sebagai instrumen fiskal tidak hanya untuk mencari uang sebanyak-banyaknya untuk daerah. Tapi sekaligus sebagai fungsi regulatori atau pengendalian. “Karena dikonsumsi oleh sebagian masyarakat tertentu,” ujarnya.

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menerima audiensi asosiasi dan pelaku usaha di bidang perhotelan dan jasa hiburan. 

“Masukannya tadi sudah kita terima semua. Saya minta, solusinya tadi dengan SE Mendagri (surat edaran Menteri Daam Negeri). Pada waktu di Istana, saya sampaikan bahwa akan ada SE, dan Kepaa daerah bisa mengacu kepada SE Mendagri,” ucapnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 101 UU HKPD telah jelas diatur bahwa kepala daerah secara jabatan dapat memberikan insentif fiskal berupa pengurangan pokok pajak daerah. Hal ini telah ditegaskan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Surat Edaran Nomor 900.1.13.1/403/SJ 19 Januari 2024 kepada Gubernur Daerah DKI Jakarta dan Bupati/ Walikota. Dengan demikian, kepala daerah memiliki kewenangan yang diberikan UU HKPD untuk melakukan pengurangan tarif PBJT atas jasa hiburan yang tarifnya 40 persen sampai dengan 75 persen.

Dari situ kepala daerah dapat mengurangi tarif PBJT hiburan sama dengan tarif sebelumnya. Pemberian insentif fiskal dengan pengurangan tarif PBJT hiburan tersebut cukup ditetapkan dengan Perkada. Saat ini Kementerian Keuangan bersama kementerian/lembaga terkait tengah menyelesaikan kajian untuk memberikan dukungan insentif perpajakan untuk sektor pariwisata yang berupa PPh Badan DTP (Ditanggung Pemerintah).

“Besaran insentif pajak PPh Badan DTP tersebut sebesar 10 persen. Sehingga besaran tarif pajak PPh Badan akan turun menjadi 12 persen (dari tarif normal 22 persen). Hal ini diharapkan akan mampu memberikan angin segar bagi pelaku usaha dan dapat menjaga iklim usaha agar tetap kondusif,” pungkas Airlangga.

Tag
Share