Minggu, 24 Nov 2024
Network
Beranda
Berita Utama
Ekonomi Bisnis
Lampung Raya
Politika
Olahraga
Metropolis
Lainnya
Advertorial
Edisi Khusus
Iklan Baris
Sosok
Bursa Kerja
Arsitektur
Wisata dan Kuliner
Otomotif
Teknologi
Lifestyle
Kesehatan
Hobi
Kriminal
Pendidikan
Edisi Ramadan
Network
Beranda
Lainnya
Detail Artikel
Bronze
Reporter:
Rizky Panchanov
|
Editor:
Ari Suryanto
|
Jumat , 19 Jan 2024 - 22:50
-ILUSTRASI AATLAS/PIXABAY -
bronze raisya ramandha putri-smaq darul fattah “aku...aku tidak bisa melanjutkan ini!” aku memekik, berusaha mencengkeram bebatuan tebing dengan kekuatan penuh. ujung-ujung jemariku terlihat memutih. rasa kebas terasa mulai menyelimuti kedua tulang betisku dan membuat kondisi tubuhku jadi semakin tak karuan. butiran-butiran kristal itu terlihat mulai menggenang di kedua kantung mataku. di sekitarku jadi terlihat buram, bahkan aku tidak bisa lagi melihat telapak tanganku sendiri. cukup dengan mengedipkan mataku sedikit saja, maka butiran kristal itu akan meluncur jatuh, terjun menuruni belahan wajahku dan membasahi kaus biruku. “mike! sadarlah! tinggal sedikit lagi! puncaknya sudah dekat!” wajah tian terlihat memerah, benar-benar khawatir akan kondisiku. telunjuknya menuding sudut di atas kami, tempat ditancapkannya sebuah bendera berwarna merah, tanda garis finish. tempat itu hanya berjarak sekitar sepuluh meter di atas posisi kami sekarang. “tidak...tidak...aku tidak bisa!” aku tetap menggeleng. “bangunlah dari mimpi itu, mike! apakah sekarang kamu sudah melupakannya? alasanmu mencintai panjat tebing, alasanmu mencintai hamparan langit, dan alasanmu menyukai warna bronze!” aku terdiam sejenak, menatap tian dengan dalam. “tebing...langit...bronze...ibu…” *** “kamu tahu, mike, apa yang membuat ibu benar-benar mencintai panjat tebing?” wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan itu terlihat menatapku dengan dalam. mata bronze indahnya terlihat berkilat mengesankan, berpendar diterpa cahaya hangat matahari siang musim semi yang menyejukkan. rambut panjangnya yang dikuncir rapi terlihat melambai indah, menari riang mengikuti irama alam. aku menatap ibuku dengan dalam, “apa itu?” “karena setiap kali ibu sampai di puncak, ibu bisa melihat hamparan langit lebih dekat daripada manusia lain. ibu bisa berdiri di atas puncak dengan tenang, merasakan semilir angin yang berembus segar tanpa polusi, melihat pemandangan kerlip lampu kota yang terlihat begitu kecil layaknya bintang gemintang, dan...” tiba-tiba saja ibuku terdiam. ia terlihat mendongakkan kepalanya. aku ikut mendongakkan kepalaku, menatap ke arah yang sama dengan ibu. “warna langit malam hari, seperti warna mata ayahmu. biru gelap, dalam, dan dingin, tetapi menyimpan sejuta misteri dan kehangatan di dalamnya. karena itulah, cinta ibu terhadap panjat tebing sama dengan cinta ibu kepada ayahmu.” ibuku menundukkan kepala, menyeka air mata yang membasahi pipinya. pundak kuatnya terlihat bergetar. dengan susah payah ia menyembunyikan kelemahan terbesarnya dariku. aku mengelus punggung ibuku dengan lembut, berusaha menenangkannya. lima tahun lalu, aku dan ibuku akhirnya kembali melakukan panjat tebing setelah sekian lama sibuk dengan urusan masing-masing. kami kembali melakukan hobi kami sejak ayahku meninggal dunia akibat komplikasi beberapa bulan sebelumnya. kami merasa benar-benar terpukul dan sedih. karena itulah kami memutuskan untuk menjadikan panjat tebing sebagai tempat pelarian dari segala kesedihan itu. selama memanjat tebing, pikiran kami kembali segar karena kami melihat banyak pemandangan menakjubkan dari atas ketinggian. ibuku memiliki mata yang benar-benar indah. warna matanya bronze keemasan, yang selalu tampak berpendar indah tiap kali disinari cahaya matahari. matanya yang dalam dan cantik itu membuatku seakan tengah memandangi matahari terbenam ketika melihat matanya, bronze cemerlang. bahkan, aku sudah bisa menebak bahwa suatu saat nanti hal yang akan paling kurindukan dari ibuku adalah matanya. “apa yang membuatmu mencintai panjat tebing?” ibuku bertanya dan tersenyum kecil. wajah manisnya terlihat semakin cantik ketika ia mengembangkan senyum. aku menggeleng, “entahlah, aku belum terlalu tahu.” “well, kamu memang masih baru di panjat tebing. namun, ibu yakin, suatu saat nanti, kamu akan tahu mengapa kamu mencintai olahraga ini.” ibuku tersenyum manis sambil menatapku. aku mengangguk semangat, lalu kembali fokus memandangi pegunungan yang terhampar di hadapanku dengan takzim. dan, entahlah, mungkin saja tuhan mengabulkan keinginkanku. semua pemandangan indah yang tersaji pada hari itu, semua hamparan gunung yang membentang pada hari itu, dan indahnya pemandangan kanopi-kanopi hutan yang terlihat hijau segar pada hari itu adalah pemandangan terakhir untuk seseorang. ya, pemandangan terakhir untuk ibuku. setelah selesai mengobrol, aku dan ibuku kembali melanjutkan perjalanan kami menaiki tebing. awalnya kami sama-sama bahagia. kami terus-menerus mengobrol tentang banyak hal, membicarakan hal apa pun yang terlintas, dan menikmati pemandangan menakjubkan yang tersaji di hadapan kami. semuanya terasa biasa saja sampai ketika tiba-tiba saja ibuku mengatakan suatu hal yang membuatku keheranan, “jangan pernah berhenti untuk meraih impianmu, mike. apa pun impian itu. beranilah untuk mengambil langkah besar. beranilah untuk mendaki medan-medan yang terjal. beranilah untuk menumpaskan semua kelemahanmu. tidak peduli apa pun kondisimu, tidak peduli apa pun yang sedang terjadi. teruslah kejar impianmu. jangan pernah berhenti!” ibuku melanjutkan dan menatapku dengan tatapan penuh arti. mata bronze cemerlangnya terlihat berkilat mengesankan, berpendar indah, diterpa cahaya matahari yang menghangatkan. entah mengapa, saat itu dia terlihat begitu cantik dan memesona. “kraakkkk!” tepat setelah ibuku berbicara, sebuah bunyi retakan panjang terdengar menggelegar dari dalam tebing yang tengah kami panjat. semakin lama suara retakan itu terdengar semakin besar dan panjang, bahkan membuat tebing yang kami panjat bergetar hebat. beberapa batuan kecil terlihat mulai luruh dari atas tebing, berdebum menghantam helm pelindung kepala kami, dan mengacaukan pandangan kami. “ibu!” aku berteriak ketakutan dan menatap ibu sambil menangis histeris. aku menempelkan tubuhku ke dinding tebing sambil gemetaran, takut tiba-tiba tebing tersebut roboh dan membuat kami tewas seketika karena jatuh dari ketinggian tiga ribu kaki. pemandangan di sekitarku mulai terlihat buram. pasir-pasir juga mulai berjatuhan menghantam kami, mengiringi luruhnya bebatuan. sementara, di atas sana, tepat sepuluh meter di atas kami, sebuah bendera merah terlihat terpasang, tanda garis finish. “mike!” ibuku menatapku dalam dan memegang pundakku dengan kuat. aku menatap ibuku. “berjanjilah pada ibu,” ibuku tersenyum, “jangan pernah tinggalkan panjat tebing.” setelah itu, tepat sekali setelah saat itu, sebelum aku sempat menjawab perkataan ibuku, sebelum aku sempat membalas senyumannya, sebelum aku sempat melihat mata bronze-nya dengan lebih dalam, tiba-tiba batu pijakan kaki ibuku luruh diikuti dengan batu yang menyangga kedua tangannya. tubuh ibuku terhempas begitu saja menuruni tebing dengan kecepatan penuh. “ibuuuu!” aku berteriak kencang, meraung histeris. dari kejauhan, aku bisa melihat dengan jelas. saat itu tubuh ibuku meluncur tanpa pengaman ke dasar tebing. ibuku berkali-kali mencoba meraih permukaan tebing, tetapi pasir yang berjatuhan dalam jumlah yang banyak membuat pegangannya menjadi licin dan ia kembali terjun bebas. akhirnya, aku mendengar tubuh ibuku berdebum menghantam tanah di bawah sana, diikuti dengan miliaran debu yang terbang ke udara, dan suara tulang-tulang yang remuk akibat dentuman keras. “brakkkkk!” seketika saat itu juga aku merasa duniaku hancur lebur. memori tentang segala hal yang baru saja kami lakukan mulai berputar. padahal, baru saja, baru saja satu jam yang lalu kami tertawa bersama, bercanda ria, memikirkan masa depan. padahal, baru saja kami menikmati kebersamaan dan kebahagiaan setelah terpukul akan kematian ayahku. padahal, baru saja kami berdua duduk santai sambil menikmati pemandangan indah, mengobrol santai, dan merasakan semilir angin yang segar. namun, kini ibuku sudah jatuh dari ketinggian lebih dari tiga ribu kaki itu, berdebum di tanah. aku tidak tahu sudah mati atau masih hidup. mengingatnya saja membuat aku semakin meraung histeris. “ibu...hiks!” saat itu aku menunggu di atas ketinggian selama hampir lima jam, menggantung-gantung tak tentu arah sambil menunggu pertolongan. beberapa kali aku mencoba membuat kode pertolongan menggunakan api, membuat kode-kode morse, meniupkan peluit, sampai membuat suara-suara ribut untuk meminta pertolongan. beberapa jam kemudian, sebuah helikopter penyelamat datang, lalu menolongku dan mengevakuasi ibuku dari dasar tebing. awalnya aku berpikir ibuku masih bisa selamat. ternyata tidak, ibuku telah meninggal. luka yang dideritanya terlalu serius. paru-parunya bocor, tulang rusuknya hancur, dan kepalanya retak. tidak ada lagi harapan untuknya selamat. aku harus hidup mandiri mulai saat itu. aku memutuskan untuk melakukan kerja paruh waktu di sebuah swalayan untuk memenuhi biaya hidupku dan mencoba untuk melupakan segala kesedihan dengan banyak bekerja di luar. akan tetapi, tetap saja rasa sedih akibat kematian ibuku itu belum juga terhapus. aku jadi memiliki trauma besar dengan tebing. aku takut melihat peralatan memanjat dan takut dengan ketinggian. aku bahkan takut melihat gunung, mendengar suara debuman benda yang jatuh. aku benar-benar selalu ketakutan. namun, suatu hari, aku teringat akan pesan ibuku, pesan terakhirnya. aku tersadar bahwa selama ini aku telah terperangkap dalam kesedihan mendalam. ditemani oleh tian, sepupuku dekatku yang selalu menemaniku semenjak kematian ibuku, aku mulai bertekad untuk mengambil langkah besarku, keluar dari zona kesedihan mendalam itu. hingga suatu hari, tiba-tiba saja aku mendapatkan undangan lomba panjat tebing dari sebuah klub panjat tebing terbesar di kotaku. tian berkata bahwa inilah saatnya untukku mengalahkan traumaku secara utuh. “ingat saja pesan ibumu. jangan pernah tinggalkan panjat tebing, mike.” tian tersenyum padaku, memberi semangat. awalnya aku merasa bersemangat untuk mengikuti perlombaan tersebut. namun, setelah sampai di lokasi, aku baru tersadar. bodohnya, entah mengapa aku tidak menyadari sejak awal bahwa mount hill, tebing itu, adalah tebing dengan tinggi di atas tiga ribu kaki, yang dulu telah merenggut nyawa ibuku. tebing itu bahkan masih terlihat sama dengan dulu. bebatuan yang ada di sana masih sama. pemandangannya juga masih sama. hanya ada perbedaan pada alat perlengkapan keselamatan yang terlihat semakin banyak dan kuat. tetapi, entah mengapa seakan ada sebuah angin lembut yang bertiup mengobarkan api semangat itu. aku sama sekali tidak gentar. aku tahu, ibuku di atas sana. dia pasti telah menungguku sambil tersenyum manis, melihatku dengan tatapan penuh kebanggaan. aku tersenyum, “tenang saja, bu. aku tidak akan meninggalkan panjat tebing!” *** “terima kasih, tian.” aku mengembuskan napas dengan kuat, lantas kembali mengambil pijakan selanjutnya. “semangat, mike! aku tahu kamu bisa melakukan ini!” tian berseru penuh semangat saat kami nyaris menyentuh ujung bendera. hanya tinggal satu meter lagi jarak kami dengan bendera dan itu cukup membuktikan ke juri bahwa saat ini kami adalah pemenangnya. “yeaaaahhhhh!” aku dan tian berseru penuh ceria saat kami akhirnya berhasil menyentuh bendera tersebut. kami melompat kegirangan di puncak, lalu merebahkan diri kami di atas hamparan rerumputan hijau sambil melihat ke langit. saat itu hari telah memasuki senja dan warna bronze cemerlang terlihat memenuhi seluruh cakrawala, mengiringi sang bola berapi tumbang di kaki barat. “kamu tahu, tian, apa yang membuatku benar-benar mencintai panjat tebing?” aku menatap tian yang tengah duduk di sampungku, tersenyum kecil. tian balik menatapku dengan dalam, “apa itu?” “karena setiap kali sampai di puncak, aku bisa melihat hamparan langit lebih dekat daripada manusia lain. aku bisa berdiri di atas puncak dengan tenang, merasakan semilir angin yang berembus segar tanpa polusi, melihat pemandangan kerlip lampu kota yang terlihat begitu kecil layaknya bintang gemintang, dan….” aku terdiam, sejenak mendongakkan kepalaku ke atas, menatap hamparan langit sore hari yang berwarna bronze cemerang. “warna langit itu, seperti warna mata ibuku. bronze cermerlang, hangat, dan elegan, menyimbolkan semangat keberanian yang selalu berpendar di matanya. setiap memandangi langit senja dari ketinggian seperti ini, aku selalu merasa memandangi mata ibuku, dan merasa bahwa dia ada di dekatku, ikut memandangiku, dan tersenyum seperti sebelum ia meninggal.” aku melanjutkan dan tanpa kusadari, setetes air mata jatuh membasahi kaus biruku, membuat bercak di sana. “karena itulah, cintaku terhadap panjat tebing sama dengan cintaku kepada ibuku.” ***
First
«
2
3
4
5
Tag
# smaq darul fattah
# cerpen bronze
# kumpulan cerpen
# cerita pendek
# cerpen
# sms
# sastra milik siswa
Share
Koran Terkait
Kembali ke koran edisi Koran Radar Lampung Edisi Minggu 21 Januari 2024
Berita Terkini
Pemkot Bandar Lampung Perbaiki Trotoar untuk Aksesibilitas Penyandang Disabilitas
Metropolis
8 jam
Dewan Desak Perusahaan Bertanggung Jawab Penuh atas Kecelakaan Kerja yang Menewaskan Karyawan
Metropolis
8 jam
Jalan Sandi Hasan di Bandar Lampung Belum Terima Perbaikan dari Pemkot
Metropolis
8 jam
Mau Jadi Sales Marketing Tiki? Segera Masukkan Lamaran!
Bursa Kerja
8 jam
Umitra Butuh Tiga Staf Marketing
Bursa Kerja
8 jam
Berita Terpopuler
Dewan Desak Perusahaan Bertanggung Jawab Penuh atas Kecelakaan Kerja yang Menewaskan Karyawan
Metropolis
8 jam
Ikuti Internasional Young Leader and Business, 10 E-Muda SMe Al-Karim Lampung Magang di USIM Malaysia
Pendidikan
10 jam
Umitra Butuh Tiga Staf Marketing
Bursa Kerja
8 jam
Prediksi AC Milan vs Juventus, Minggu 24 November 2024: Ujian Konsistensi Rosonerri
Olahraga
21 jam
Menakar Dampak Pemutihan Kredit Macet Petani dan Nelayan
Berita Utama
9 jam
Berita Pilihan
Bertualang Sambil Healing ke Air Terjun Batu Putu
Wisata dan Kuliner
1 hari
Update Rangking Timnas Indonesia, Skuad Garuda Naik ke Peringkat 125 FIFA Setelah Kalahkan Arab Saudi
Olahraga
1 hari
Cegah Pegal Saat Bekerja di Kantor, Lakukan 10 Langkah Ini!
Kesehatan
2 hari
Konsumsi 8 Jenis Makanan Ini, Perut Buncit Dijamin Hilang
Kesehatan
2 hari
Ingin Tubuh Sehat? Konsumsi 10 Makanan Musuh Kolesterol Jahat Ini
Kesehatan
2 hari