25 Tahun Menjaga Nafas Budaya Lampung, Perjalanan Batik Gabovira dari Uang PHK hingga Mendunia

BATIK: Griya Batik Gabovira yang berada di Beringin Raya, Kemiling, Bandarlampung, Sabtu (22/11).-FOTO SINTIA MAHARANI-

Setiap bulan, sekitar 5.000 produk keluar dari proses produksi, menggunakan berbagai teknik: tulis, cap, printing, hingga teknik terbaru—print malam. Teknik tulis tetap menjadi yang paling istimewa.

“Untuk satu kain batik tulis, panjang 2,5 meter, prosesnya bisa sebulan,” jelas Gatot. Sementara teknik lain lebih cepat karena mengandalkan mesin. 

Produk Gabovira tidak sebatas kain. Ada mukena, sarung, jilbab, sajadah, hingga busana jadi.

“Enam puluh persen dari instansi pemerintah se-Lampung. Sisanya wisatawan luar kota bahkan luar negeri—Belanda, Amerika, Thailand, India, Malaysia, banyak lagi. Kami juga jual hingga ke luar negeri,” terang Gatot.

Salah satu momen yang tak terlupakan terjadi pada tahun 2009. Saat itu, Rahmat Mirzani Djausal—kini Gubernur Lampung—yang waktu itu menjabat Ketua HIPMI Lampung, membawa batik Gabovira hingga level nasional.

Busana batik karya Gabovira bahkan dikenakan Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Saya merasa bangga sekali. Itu titik di mana batik Lampung benar-benar mulai diperhatikan,” kata Gatot.

Selain memproduksi batik, Gabovira juga membuka pelatihan membatik untuk anak-anak TK hingga pelaku UMKM.

Pesertanya pun datang dari berbagai daerah, bahkan pernah ada peserta dari Zimbabwe. 

Baginya, berbagi pengetahuan adalah bagian dari menjaga keberlanjutan budaya. Dalam 25 tahun perjalanan, Gatot mengakui bahwa usaha batik tidak selalu mudah.

Namun, inovasi, pelayanan, dan prinsip kejujuran menjadi fondasi yang membuat Gabovira terus berdiri.

“Gabovira bisa bertahan karena kami terus berinovasi. Selain itu, kami jaga amanah ke konsumen. Jujur dan cari untung jauh dari riba,” ujarnya.(*) 

Tag
Share