Dua Naskah Kuno Lampung Ditetapkan sebagai Ingatan Kolektif Nasional

Radar Lampung Baca Koran--

BANDARLAMPUNG – Di balik lembar-lembar rapuh bertuliskan aksara tua, Lampung menyimpan jejak panjang tentang roh hutan, hukum adat, dan perjalanan sebuah kampung. 

Tahun 2025, dua naskah kuno asal Sai Bumi Ruwa Jurai resmi ditetapkan sebagai Naskah Ikon (Ingatan Kolektif Nasional) oleh Perpustakaan Nasional RI, Rabu (15/10/2025).

Dua naskah tersebut adalah Ingok Perjanjian Kita, manuskrip kulit kayu berusia ratusan tahun, dan Poerba Ratoe, catatan sejarah masyarakat Labuhan Ratu yang ditulis pada awal abad ke-20.

Menurut Yanti Hakim, Kepala Bidang Deposit, Akuisisi, dan Pengelolaan Bahan Pustaka Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung, yang mewakili Kepala Dinas Fitrianita Damhuri, penetapan ini bukan sekadar pengakuan formal.

 “Naskah-naskah ini adalah memori hidup masyarakat Lampung. Mereka merekam sejarah, keyakinan, dan adat yang masih terasa hingga hari ini,” ujar Yanti.

Naskah Ingok Perjanjian Kita ditulis di atas kulit kayu halim dengan aksara hat atau sukat Lampung, dan sebagian menggunakan bahasa Melayu kuno, Arab, serta Banten. Manuskrip setebal 40 lembar ini diperkirakan berasal dari abad ke-17 hingga ke-18.

Isinya menggambarkan masa ketika hutan belantara hendak dibuka menjadi permukiman. Dalam proses itu, dilakukan perjanjian gaib antara manusia dan 33 penghuni halus hutan—terdiri dari jin, setan, buta, dan makhluk lainnya.

Ritual tersebut melibatkan pemotongan kerbau putih bertanduk hitam, di mana bagian tubuhnya—daging, tulang, usus, jantung, hingga limpa—dibagikan kepada setiap entitas gaib.

Lebih dari sekadar ritual, naskah ini mencerminkan sistem kepercayaan nenek moyang sekaligus transisi budaya dari era Hindu-Buddha menuju Islam. Tradisinya kemudian hidup dalam bentuk ruatan pembukaan kebun, ladang, hingga upacara laut di sejumlah kampung adat.

 “Ingok Perjanjian Kita adalah cermin transisi kepercayaan yang masih hidup dalam adat Lampung hingga kini,” kata Yanti.

Jika Ingok mencatat dunia roh dan hutan, maka Poerba Ratoe memotret kehidupan sosial masyarakat Lampung pada awal abad ke-20.

Naskah ini ditulis oleh Poerba Ratoe, Ketua Adat sekaligus Kepala Kampung Labuhan Ratu yang kemudian menjabat sebagai Kepala Distrik XIII.

Manuskrip tersebut memuat 61 subpokok bahasan, termasuk hukum adat istiadat Lampung Pepadun. Sebagian pasal adat dalam naskah itu bahkan masih diterapkan hingga kini, terutama dalam pelaksanaan Acara Adat Gawi.

Selain itu, Poerba Ratoe juga mencatat aspek kemaritiman. Salah satu bagiannya memuat perintah berlayar melalui sungai—yang kala itu menjadi jalur utama transportasi masyarakat. Hingga kini, unsur sungai tetap hadir dalam ritual adat seperti Prosesi Turun Mandi, bagian dari rangkaian upacara Gawi.

Tag
Share