Getah Damar, Emas Hutan Pesisir Barat yang Terancam

PANEN GETAH DAMAR: Petani di Kecamatan Krui, Kabupaten Pesisir Barat saat memanen getah damar yang merupakan komoditas yang kini terancam. -FOTO IST -

KRUI – Getah damar mata kucing (Shorea javanica) telah menjadi simbol keharmonisan antara manusia dan alam bagi masyarakat Krui, Kabupaten Pesisir Barat (Pesbar).

Lebih dari sekadar komoditas unggulan, repong damar merupakan bukti kearifan lokal yang telah diwariskan lintas generasi.

Sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini tidak hanya menopang ekonomi warga, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem di kawasan Pesisir Barat (Pesbar). 

Kepala UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kabupaten Pesbar, Dadang Trianahadi menjelaskan damar mata kucing merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan potensi besar untuk terus dikembangkan.

“Damar mata kucing dari Krui sudah dikenal luas hingga pasar internasional. Produksinya stabil dan menjadi salah satu sumber penghidupan utama masyarakat di sekitar hutan,” katanya.

Dijelaskanya, berdasarkan data UPTD KPH, luas areal repong damar di Kabupaten Pesbar mencapai 7.833 hektare, tersebar di lima kecamatan, yaitu Karya Penggawa seluas 1.170 hektare.

Kemudian Way Krui 894 hektare, Pesisir Tengah 1.747 hektare, Krui Selatan 802 hektare, dan Pesisir Selatan 3.219 hektare. Produksi getah damar dari tahun ke tahun juga menunjukkan tren positif.

“Tercatat pada tahun 2022 tercatat sebanyak 4.105 ton, naik menjadi 4.311 ton pada 2023, dan meningkat lagi menjadi 4.529 ton pada 2024,” jelasnya.

Dikatakannya, secara ilmiah damar mata kucing tergolong dalam famili Dipterocarpaceae, genus Shorea, dengan nama ilmiah Shorea javanica. Tanaman ini memiliki banyak manfaat bagi berbagai industri.

Getah damar digunakan dalam pembuatan cat, tinta, kosmetik. Selain itu, damar juga dimanfaatkan untuk industri tekstil, bahan perekat, korek api, serta pelapis perahu dan keranjang tradisional.

“Dalam konteks lingkungan, pohon damar memiliki peran penting dalam rehabilitasi hutan dan lahan kritis, sebab mampu meningkatkan kesuburan tanah dan mengurangi erosi,” katanya.

Dadang menjelaskan, keberadaan damar di Krui memiliki nilai sejarah panjang. Berdasarkan catatan ahli kehutanan Belanda, Rappard, hutan damar pertama kali ditanam di Krui sekitar tahun 1885 dengan luas 70 hektare.

Saat itu, pohon damar berumur hingga 50 tahun. Pada 1936, Rappard menyebut damar mata kucing merupakan komoditas ekspor ketiga terbesar setelah kopi dan kopra, dengan produksi mencapai 200 ton per tahun.

“Sejarah lisan masyarakat juga menyebut, hutan damar pertama tumbuh di daerah selatan, seperti Siging (Kecamatan Ngaras) dan Bengkunat, serta di utara, seperti Pugung (Kecamatan Pesisir Utara hingga Lemong),” kata dia.

Namun, perjalanan panjang repong damar tidak lepas dari tantangan. Sejak tahun 1960-an, muncul ancaman serius terhadap kelestarian komoditas ini.

Ketika itu, beredarnya damar sintetis dari luar negeri sempat menurunkan minat pasar terhadap damar alam.

Dekade 1970-an menjadi masa sulit lainnya, saat harga cengkeh melonjak dan membuat sebagian petani mengonversi repong damar menjadi kebun cengkeh.

“Ancaman terhadap repong tidak hanya datang dari fluktuasi harga, tetapi juga dari alih fungsi lahan dan tekanan ekonomi,” jelasnya.

Selain itu, dua perusahaan pernah mendapatkan konsesi untuk pengembangan kelapa sawit di wilayah Krui, yang berpotensi mengancam keberadaan repong damar.

Pada 1972, sebagian kawasan hutan adat bahkan dialihkan menjadi Areal Kawasan Hutan Negara, yang sempat memicu konflik kepemilikan antara masyarakat adat dan pemerintah. Beberapa petani juga terpaksa menebang pohon damar akibat desakan kebutuhan ekonomi.

Kendati demikian, pemerintah telah menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga kelestarian repong damar. Melalui SK Menteri Kehutanan No. 47/Kpts-II/1995, kawasan hutan damar Krui ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Istimewa (KHDTI).

Kebijakan tersebut secara resmi mengakui repong damar sebagai hasil budidaya masyarakat Krui yang berfungsi sebagai hutan sekaligus sumber ekonomi berkelanjutan.

“Pemerintah juga menetapkan repong damar dapat diwariskan kepada anak cucu, dan bagi repong di luar kawasan hutan, kepemilikannya menjadi hak penuh masyarakat,” ujarnya.

Dukungan terhadap kelestarian damar juga datang dari Instruksi Gubernur Lampung Nomor 522/400/04/2006 tentang Pelestarian Pohon Damar, serta Keputusan Bupati Pesisir Barat Nomor B/278/KPTS/V.04/HK-PSB/2021 mengenai pembentukan Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Damar Mata Kucing.

“Langkah-langkah ini penting untuk memastikan damar Krui tetap memiliki nilai jual tinggi dan terlindungi secara hukum,” jelasnya.

Meski demikian, masih ada sejumlah kendala di lapangan. Produktivitas dan kualitas damar mata kucing dinilai masih rendah, teknologi pengolahan belum berkembang optimal, serta sistem pemasaran yang belum sepenuhnya stabil.

Selain itu, masih banyak wilayah yang potensi HHBK-nya belum teridentifikasi secara pasti.

Kedepan, KPH Pesbar menegaskan komitmennya untuk menjaga repong damar sebagai best practice kearifan lokal dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Kolaborasi antara petani, pemerintah, dan pelaku usaha diharapkan mampu menciptakan keseimbangan antara manfaat ekonomi dan kelestarian lingkungan.

“Repong damar bukan hanya warisan budaya, tetapi juga jantung kehidupan masyarakat Krui. Tugas kita bersama adalah menjaganya agar tetap lestari dan memberi manfaat hingga generasi mendatang,” imbuhnya.(*) 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tag
Share