Indonesia Krisis Dokter Spesialis

KEKURANGAN: Menkes Budi Gunadi Sadikin menyoroti krisis dokter spesialis di Indonesia. -FOTO HASYIM ASHARI/DISWAY -
JAKARTA – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin kembali menyoroti isu krusial dalam sistem kesehatan Indonesia, yaitu kekurangan dokter spesialis yang parah.
Menurut Budi, kapasitas pendidikan dokter spesialis di Indonesia masih sangat terbatas, dengan rata-rata hanya mampu mencetak sekitar 2.700 dokter spesialis setiap tahunnya.
Angka ini dinilai jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan di seluruh pelosok negeri.
Menkes Budi menyebut butuh waktu selama 26 tahun untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis dengan target 70 ribu.
“Ini tantangan kita bersama karena setahun kita produksi cuma 2,700. jadi ketika kita bagi 70 ribu dengan 2.700 itu artinya butuh waktu 26 tahun,” sorot Menkes dalam program akselerasi peningkatan akses dan mutu pendidikan tenaga medis di Jakarta Selatan, Selasa 22 Juli 2025.
Menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-80 tahun, Menkes Budi mengaku tidak akan cukup untuk mengejar tertinggalan untuk mencetak dokter spesialis.
Dampaknya, Menkes Budi mengaku kekurangan tenaga dokter spesialis membuat memicu lebih dari 1 juta kematian masyarakat Indonesia setiap tahun. Terbanyak berkaitan dengan penyakit stroke, jantung, dan kanker.
“Bayangkan, di RS Harapan kita saja, ada yang dari daerah kemudian mengantre hingga 6 bulan untuk mendapatkan penanganan,” tutur Menkes Budi.
Selain kekurangan dokter spesialis, Menkes Budi Gunadi mengaku juga di Indonesia distribusi dokter ke pelosok wilayah juga kurang memadai.
Oleh karena itu, Budi mendorong untuk mempercepat mencetak dokter spesialis. “Tapi tetap bukan berarti masalah kita paling besar distribusi. Kenapa kita distribusi susah? Karena jumlah dokter kurang, kita harus lebih cepat lagi,” pungkasnya.
Kekurangan dokter spesialis ini berdampak langsung pada kualitas dan aksesibilitas layanan kesehatan bagi masyarakat.
Antrean panjang di rumah sakit, rujukan pasien ke kota-kota besar karena ketiadaan spesialis di daerah, hingga kasus-kasus penyakit yang tidak tertangani dengan cepat dan tepat, adalah beberapa konsekuensi nyata dari minimnya jumlah dokter spesialis.
Menkes Budi mencontohkan, untuk beberapa spesialisasi vital seperti jantung, neurologi, atau onkologi, kesenjangan jumlah dokter dan kebutuhan pasien sangat mencolok.
Hal ini membuat beban kerja dokter spesialis yang ada menjadi sangat berat dan memengaruhi kualitas pelayanan. Pemerintah, melalui Kemenkes, telah mengidentifikasi beberapa strategi untuk mengatasi masalah ini.
Salah satunya adalah meningkatkan kapasitas rumah sakit yang dapat menjadi fasilitas pendidikan dokter spesialis, baik rumah sakit milik pemerintah maupun swasta.
Selain itu, ada juga wacana untuk mempercepat proses pendidikan dokter spesialis tanpa mengurangi kualitas, serta meningkatkan insentif bagi dokter spesialis yang bersedia ditempatkan di daerah-daerah terpencil.
“Kita harus mencari cara agar bisa mencetak lebih banyak dokter spesialis dengan cepat, namun tetap menjaga kualitasnya,” tegas Menkes.
“Kerja sama dengan perguruan tinggi dan juga pihak swasta akan menjadi kunci utama,” ujarnya.
Namun, upaya ini bukannya tanpa tantangan. “Selain masalah infrastruktur dan sumber daya manusia pengajar, adaptasi kurikulum, penjaminan mutu, serta penempatan dokter spesialis setelah lulus juga memerlukan perhatian serius.
Diharapkan, dengan langkah-langkah strategis yang terencana dan didukung oleh semua pihak, krisis dokter spesialis di Indonesia dapat teratasi, demi terwujudnya layanan kesehatan yang merata dan berkualitas bagi seluruh rakyat. (disway/c1/yud)