Kadin-AMPPSI Minta Pemerintah Setop Impor

Diskusi tata niaga singkong dengan tema Mencari Solusi Bersama Permasalahan Tata Niaga Singkong di Lampung bersama Kadin Lampung, Kadin Lampung Timur, dan APPSI di sekretariat Kadin Lampung, Senin (21/7).-FOTO PRIMA IMANSYAH PERMANA/RLMG -
BANDARLAMPUNG - Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Provinsi Lampung bersama Aliansi Masyarakat Peduli Petani Singkong Indonesia (AMPPSI) sepakat agar pemerintah menyetop impor dan membuat regulasi tentang tapioka.
Hal tersebut disampaikan kedua belah pihak dalam diskusi tata niaga singkong dengan tema Mencari Solusi Bersama Permasalahan Tata Niaga Singkong di Lampung bersama Kadin Lampung, Kadin Lampung Timur, dan APPSI di sekretariat Kadin Lampung, Senin (21/7).
Pada diskusi tata niaga singkong tersebut, keduanya bersepakat jika perlunya segera dilakukan pemberhentian impor tapioka dan segera dibentuk regulasi atau undang-undang yang mengatur terkait ubi kayu atau tapioka.
Ketua KADIN Lampung Timur, Sidik Ali mengatakan, dirinya melaporkan dan menjembatani aspirasi dari AMPPSI terkait harga singkong saat ini.
Menurut, untuk di Lampung Timur dari sekitar 823 ribu mata pilih hampir 78 persen masyarakat hidup dari singkong.
“Aspirasi ini ketika kami melihat ini kami kabupaten tidak mampu lagi. Secara berjenjang sesuai surat aliansi. Pemerintah didorong dorong keluarkan kebijakan,” ujar Sidik Ali.
Ditempat yang sama, Ketua AMPPSI, Maradoni mengatakan, perlunya segera penghentian impor tapioka dan regulasi yang jelas terkait tata niaga ubi kayu atau tapioka ini. Kata Maradoni, pihaknya telah berkali-kali menggelar aksi menyuarakan keluhan petani singkong mengenai carut marut harga singkong di Provinsi Lampung.
Bahkan, telah sampai pembahasan bersama dengan Menteri Pertanian Amran Sulaiman maupun rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR RI.
Namun, dari putusan yang diambil belum menemukan keputusan yang saling menguntungkan antara para petani maupun pabrik tapioka yang membeli singkong petani di Lampung.
Maradoni menceritakan, permasalahan ini telah dimulai sejak Desember 2024 lalu. Saat itu setelah demo di kabupaten, Pj Gubernur Lampung mengundang pihaknya.
Dari pertemuan tersebut ditandatangi surat keputusan bersama yang menyebutkan jika harga singkong Rp 1.400 per kg dengan rafaksi 15 persen. Namun, keputusan tersebut tidak dijalankan oleh pihak industri.
“Pada Januari 2025 kita adakan kembali aksi besar-besaran. Sehingga keluar surat edaran dari pak gubernur yang tidak digubris industri,” ujat Maradoni.
Lanjut Maradoni, setelah aksi-aksi yang dilakukan didaerah, pihaknya pun diundang menteri pertanian. Saat itu ditetapkan harga Rp 1.350 per kg dengan rafaksi 13 persen dan kembali tidak dijalankan industri.
“Kami juga diundang Komisi IV DPR RI. Memang yang dibutuhkan regulasi tapa regulasi kami lemah,” ucapnya.