Industri Tekstil dan Alas Kaki Terancam Tarif Impor AS Mulai 1 Agustus 2025

Dampak signifikan tarif impor AS terhadap sektor padat karya dalam diskusi publik di Jakarta, Senin (21/7). -FOTO ANTARA -
JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan bahwa kebijakan tarif impor sebesar 19 persen yang akan diterapkan Amerika Serikat mulai 1 Agustus 2025 akan memberikan tekanan besar pada industri tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki Indonesia.
Menurut Ahmad Heri Firdaus, Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, sektor-sektor tersebut merupakan kontributor utama ekspor Indonesia ke pasar Amerika Serikat, sekaligus menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dari kalangan formal maupun informal.
“Yang menjadi pekerjaan rumah kita adalah mencari solusi agar produk tekstil dan alas kaki kita tetap kompetitif di pasar AS. Kita cukup bergantung pada ekspor ke sana, dan ini sektor padat karya,” jelas Heri dalam diskusi publik di Jakarta pada Senin (21/7).
Heri menambahkan bahwa Indonesia harus meningkatkan baik daya saing komparatif maupun kompetitif. Saat ini, produk-produk Indonesia dinilai masih kalah dalam hal efisiensi biaya dibanding negara pesaing seperti Vietnam, Bangladesh, India, dan Malaysia.
Negara-negara tersebut telah berhasil menekan ongkos produksi — termasuk bahan baku, listrik, logistik, dan transportasi — yang memungkinkan mereka menawarkan harga lebih bersaing tanpa terpengaruh signifikan oleh tarif masuk di pasar ekspor.
“Persaingan harga akan menjadi tantangan utama bagi industri tekstil dan alas kaki kita. Kalau produk sawit mungkin lebih aman, karena kita memiliki keunggulan komparatif yang tidak banyak dimiliki negara lain selain Indonesia dan Malaysia,” tambahnya.
Indef mendorong adanya strategi jangka pendek dan menengah untuk memperkuat efisiensi produksi, diversifikasi pasar ekspor, serta negosiasi perdagangan internasional agar industri dalam negeri tidak terpukul oleh kebijakan tarif negara mitra.
Belum usai dampak kebangkrutan Sritex, industri tekstil nasional kini kembali dibayangi badai ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Kebijakan tarif impor tinggi yang akan diterapkan oleh Amerika Serikat (AS) memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri, khususnya sektor manufaktur padat karya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan rencana penerapan tarif baru oleh AS berpotensi menggerus permintaan terhadap produk ekspor Indonesia. Jika permintaan melemah, produksi akan turun, dan pada akhirnya bisa berujung pada gelombang PHK.
’’Tarif impor yang tinggi membatasi pembelian produk Indonesia di pasar AS. Ini akan sangat berdampak pada sektor padat karya yang menjadikan AS sebagai tujuan utama ekspor,” ujar Benny dalam program Investor Market Today pada Rabu (9/7).
Beny menambahkan, industri seperti pakaian jadi, sepatu olahraga, komponen elektronik, furnitur, dan kerajinan tangan merupakan sektor yang sangat tergantung pada pasar AS. Hal ini karena Amerika Serikat sendiri tidak memiliki industri padat karya sekuat Indonesia akibat tingginya biaya tenaga kerja.
Data riset Beritasatu menunjukkan, selama periode Januari-Mei 2025, komoditas ekspor terbesar Indonesia ke AS adalah pakaian jadi dari tekstil dengan nilai mencapai USD1,27 miliar. Disusul oleh produk sepatu olahraga, minyak kelapa sawit, pakaian rajutan, dan alas kaki.
Secara keseluruhan, total nilai ekspor Indonesia pada periode tersebut mencapai USD111,98 miliar. Dari angka tersebut, Tiongkok masih menjadi tujuan ekspor utama sebesar USD24,25 miliar, disusul AS dengan nilai USD12,11 miliar.
Menghadapi ancaman ini, Benny mengusulkan agar pemerintah menyiapkan kompensasi atau skema bantuan, seperti yang pernah dilakukan pada masa pandemi Covid-19, guna menahan laju PHK massal.
Sebagai informasi, Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan bahwa tarif impor baru akan diberlakukan mulai 1 Agustus 2025. Untuk produk asal Indonesia, tarif yang dikenakan mencapai 32%, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan tarif terhadap negara lain di kawasan Asia. (ant/c1/abd)