DKPP: Tidak Ada Tahapan Pemilu 2024 yang Bebas dari Pelanggaran Etik

Anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo saat menyampaikan evaluasi pengawasan Pemilu 2024 di Padang, Jumat (11/7). -FOTO HUMAS DKPP -
PADANG – Kualitas penyelenggaraan Pemilu 2024 masih menjadi perdebatan. Pasalnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mencatat tidak ada satu pun tahapan pemilu yang bebas dari pelanggaran etik.
Hal itu disampaikan oleh anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo dalam kegiatan Evaluasi Pengawasan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 serta Penyusunan Kerangka Implementasi Program Pengawasan Non Tahapan yang digelar Bawaslu RI di Kota Padang, Sumatera Barat, Jumat (11/7).
“Kalau kita melihat seluruh tahapan Pemilu 2024, tidak ada satu pun tahapan yang terlewat tanpa pelanggaran etik,” ungkap Ratna Dewi.
Menurut data DKPP, pelanggaran terjadi dalam berbagai tahapan, mulai dari:
Pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu, Penyusunan Peraturan KPU. Pencalonan legislatif (DPR, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, dan DPD). Pencalonan presiden dan wakil presiden, Masa kampanye, dan Perkara non tahapan pemilu.
Sebagian besar pelanggaran tersebut berujung pada sanksi berat, termasuk pemberhentian tetap penyelenggara pemilu.
Ratna Dewi menekankan pentingnya pendidikan etika sebagai upaya pencegahan pelanggaran. Ia menyebut hal ini sebagai kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kualitas pemilu mendatang.
“Pendidikan etika harus dilakukan secara sistematis dan masif agar melahirkan penyelenggara pemilu yang berintegritas, kredibel, dan profesional,” tegasnya.
Ia juga mendorong kerja sama antar pemangku kepentingan untuk menciptakan sistem pendidikan etik yang menyeluruh dan berkelanjutan.
Dalam kesempatan itu, DKPP juga memaparkan capaian penanganan pelanggaran etik sepanjang tahun 2025, di mana terrdapat Jumlah pengaduan: 175; Perkara disidangkan: 174; dan Perkara diputus: 166.
Sementara, Sanksi dijatuhkan: Peringatan tertulis: 170; Peringatan keras: 80; Peringatan keras terakhir: 8; Pemberhentian dari jabatan ketua/kordiv: 11; Pemberhentian sementara: 1; dan Pemberhentian tetap: 22.
Di sisi lain, DKPP juga merehabilitasi atau memulihkan nama baik 432 penyelenggara pemilu yang terbukti tidak melakukan pelanggaran etik.
Diketahui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) terhadap Ketua dan dua anggota Bawaslu Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel).
Sidang untuk Perkara Nomor 85-PKE-DKPP/II/2025 ini digelar di kantor Bawaslu Sumsel di Palembang, Rabu (2/7).
Perkara ini diadukan oleh Ismail, yang memberikan kuasa kepada M. Alwan Pratama Putra dan Angga Saputra. Teradu dalam perkara ini adalah Ketua Bawaslu Ogan Ilir, Dewi Alhikmah Wati, serta dua anggotanya, Muhammad Uzer dan Lily Oktayanti.
Sidang tetap dilaksanakan meski pengadu tidak hadir. Ketua Majelis, Heddy Lugito, menyatakan pengadu telah dipanggil secara patut sesuai ketentuan Pasal 22 ayat (1) Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017, sebagaimana diubah dengan Peraturan DKPP Nomor 1 Tahun 2022.
“Pada 24 Juni 2025, pengadu menyatakan akan hadir, tetapi hingga hari ini tidak hadir. Karena perkara sudah diregister, maka tetap kita sidangkan,” ujar Heddy.
Dalam dokumen aduan, pengadu mendalilkan bahwa para teradu tidak profesional dalam memutuskan pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di TPS 1 Desa Tanjung Gelam, Kecamatan Indralaya, Ogan Ilir, yang menurut mereka tidak lagi memengaruhi hasil Pilkada.
Kasus ini berawal dari seorang warga bernama Asmiri, yang menggunakan hak pilihnya meski tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), maupun Daftar Pemilih Khusus (DPK). Asmiri diketahui telah berpindah domisili ke Kabupaten Banyuasin.
Pengadu menilai Bawaslu Ogan Ilir memaksakan pelaksanaan PSU secara tidak proporsional dan mengganggu tahapan rekapitulasi di tingkat kabupaten.
Namun, Ketua Bawaslu Ogan Ilir, Dewi Alhikmah Wati, menegaskan bahwa keputusan menerbitkan rekomendasi PSU sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Menurutnya, KPPS di TPS tersebut keliru memberikan surat suara kepada Asmiri tanpa memverifikasi status pindah memilih.
“Meski Asmiri berasal dari Desa Tanjung Gelam, ia telah menikah dan membuat KTP baru di Kabupaten Banyuasin. Ini memenuhi syarat untuk dilakukan PSU berdasarkan Pasal 112 UU Pilkada juncto PKPU Nomor 17 Tahun 2024,” jelas Dewi. (dkpp/c1/abd)