DPR Soroti Dampak Putusan MK soal Pemilu Terpisah, KPU dan Bawaslu Minta Desain Regulasi yang Matang
Komisi II DPR bersama KPU dan Bawaslu membahas dampak putusan MK tentang pemisahan pemilu legislatif dan presiden. -FOTO DISWAY -
JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI Giri Ramanda Kiemas menyoroti dampak teknis dan hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan pemilu legislatif dan pemilu presiden harus digelar secara terpisah. Menurutnya, kebijakan ini harus dikaji secara mendalam agar tidak menimbulkan kekosongan hukum.
’’Putusan MK pasti ada komplikasinya. Apakah semudah itu mengubah UUD? Apakah cukup dengan menambahkan pasal peralihan? Ini semua masih dalam pembahasan,” kata Giri dalam diskusi di gedung Bawaslu, Jakarta Pusat, Rabu (9/7).
Giri menilai sejauh ini pelaksanaan pemilu sudah mengalami perbaikan signifikan, baik dari sisi teknis maupun kelembagaan penyelenggara. Namun, tanpa desain hukum yang matang, perubahan sistem pemilu bisa berisiko tinggi.
“Kalau tidak dirancang baik, bisa timbul kekosongan waktu tahapan. Kita perlu detailkan agar transisi berjalan mulus dan tidak menyulitkan penyelenggara,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa sebagian besar partai politik belum mencapai kesepakatan soal arah desain pemilu ke depan.
Anggota KPU RI, August Mellaz, menyatakan lembaganya tetap netral dan siap menjalankan segala bentuk regulasi yang dihasilkan oleh pembentuk undang-undang.
“KPU tidak dalam posisi mengomentari putusan MK. Kami pelaksana UU dan akan menindaklanjuti setiap regulasi yang dibuat,” kata Mellaz.
Ia juga menyampaikan evaluasi pemilu 2024 yang menunjukkan peningkatan partisipasi dan menurunnya surat suara tidak sah.
“Partisipasi mencapai 82 persen. Surat suara tidak sah turun jadi 9,4 persen,” ujarnya.
Namun demikian, Mellaz menyoroti beban kerja tinggi yang dihadapi penyelenggara, termasuk kelelahan hingga korban jiwa.
“Lebih dari 800 petugas KPU dan Bawaslu mengalami kelelahan. Hampir 900 orang dilaporkan kelelahan atau meninggal,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, menyatakan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kompleksitas pemilu serentak dengan lima kotak suara. Ia juga menyoroti pentingnya jeda antar tahapan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan.
“Kalau ada jeda sebelum pilkada, penyelenggara bisa lebih siap. Ini soal kualitas, bukan sekadar efisiensi,” tegasnya.
Rahmat mendukung gagasan kodifikasi undang-undang sebagai solusi jangka panjang untuk menyederhanakan aturan pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada.
“Sejak lama kami usulkan satu kitab undang-undang: parpol, pemilu, dan pilkada. Desain keserentakan harus efisien dan terstruktur,” jelasnya.
DPR dan Bawaslu sepakat bahwa penyusunan regulasi pasca putusan MK memerlukan waktu dan pembahasan lintas lembaga.
“Saya yakin 2026 baru dibahas dan 2027 mulai dijalankan. Sekarang kita tunggu prosesnya,” pungkas Giri. (disway/c1/abd)