MPR Bahas Opsi Strategis Hadapi Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah
Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Taufik Basari mengusulkan rapat konsultasi lintas lembaga untuk merespons putusan MK. -FOTO DOK. MPR RI -
JAKARTA – Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI tengah merumuskan sejumlah opsi strategis menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 135/PUU-XXI/2024 yang mewajibkan pemisahan jadwal pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Ketua K3 MPR RI Taufik Basari menyatakan bahwa putusan tersebut menimbulkan dilema konstitusional yang perlu ditanggapi secara cermat oleh MPR sebagai satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenangan mengubah Undang-Undang Dasar 1945.
“Sikap atau rekomendasi MPR atas kondisi dilematis ini harus mempertimbangkan kekuatan konstitusional yang dimilikinya,” ujar Taufik dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Ia menjelaskan bahwa dalam amar putusan tersebut, MK menetapkan pemilu nasional dan pemilu daerah harus dilaksanakan secara terpisah, dengan rentang waktu minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun di antara keduanya.
Pemilu nasional mencakup pemilihan DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Sementara pemilu daerah meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah.
Menurut Taufik, implementasi putusan ini menghadirkan konflik konstitusional. Di satu sisi, melaksanakan pemilu dengan jeda waktu sebagaimana diputuskan MK berisiko melanggar Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemilu digelar setiap lima tahun dan DPRD dipilih melalui pemilu.
Namun di sisi lain, mengabaikan putusan MK juga tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
“Dua-duanya problematik. Jika putusan dijalankan, maka bisa terjadi perpanjangan masa jabatan DPRD tanpa dasar konstitusional. Tapi jika diabaikan, itu berarti melanggar prinsip dasar bahwa putusan MK harus dijalankan,” tegasnya.
Taufik pun mendorong agar pimpinan MPR mengambil inisiatif untuk menggelar rapat konsultasi dengan DPR, Presiden, dan Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, forum konsultasi lintas lembaga ini penting untuk membahas kemungkinan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) sebagai respons atas putusan MK yang dinilai problematik.
Beberapa skenario yang tengah dipertimbangkan antara lain: kemungkinan adanya gugatan baru, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), hingga berbagai alternatif konstitusional lainnya.
“Keputusan final akan ditentukan berdasarkan opsi-opsi yang disepakati bersama dalam forum konsultasi tersebut,” pungkasnya.
SebelumnyaSekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) Heru Setiawan menuturkan pihaknya masih menunggu langkah DPR RI dalam menindaklanjuti putusan soal pemisahan jadwal pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
’’Putusan MK sudah diucapkan, sekarang tinggal menunggu tindak lanjut dari DPR. Karena itu sepenuhnya menjadi kewenangan DPR,” ujar Heru di kompleks parlemen, Rabu (9/7).
Heru menambahkan, pembahasan mengenai putusan ini belum muncul dalam rapat bersama Komisi III DPR RI lantaran pertemuan tersebut berfokus pada anggaran. “Karena sifatnya rapat anggaran, jadi tidak berkaitan langsung dengan putusan MK,” jelasnya.
Meski begitu, Heru memastikan Komisi III DPR mendukung penuh putusan tersebut. “Semua mendukung,” tegasnya.
Sementara itu, Partai Demokrat melalui Wakil Ketua Umum Dede Yusuf menyatakan bahwa fraksi Demokrat di DPR masih menunggu pembahasan lintas fraksi terkait implementasi putusan MK ini. Menurutnya, kajian mendalam masih diperlukan sebelum mengambil sikap resmi.
“Fraksi Demokrat belum dalam posisi mendukung atau menolak. Kita harus membahas lebih dalam dulu, karena ini berkaitan dengan asal-usul kewenangan,” kata Dede.
Di sisi lain, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengkritisi putusan MK. Ia menilai keputusan tersebut membuat MK melampaui kewenangan dengan seolah-olah membentuk norma baru, bukan sekadar menafsirkan konstitusi.
“Mahkamah menempatkan dirinya seperti pembentuk undang-undang. Padahal tugasnya hanya menilai apakah suatu norma bertentangan dengan UUD atau tidak,” kata Rifqi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga masih menanti tindak lanjut DPR RI. Ketua KPU Mohammad Afifuddin mengatakan, pihaknya akan menyiapkan langkah-langkah teknis begitu ada perubahan aturan.
“Kalau sudah diturunkan dalam bentuk undang-undang, baru kami akan menindaklanjuti. Prinsipnya, KPU selalu melaksanakan putusan MK,” kata Afif di Jakarta, Senin (7/7/2025).
Sebelumnya, Partai Gerindra menyatakan belum mengambil sikap resmi terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Partai berlambang garuda ini masih mendalami dampak dari putusan tersebut melalui kajian internal.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Gerindra Bahtra Banong, Sabtu (5/7). Menurutnya, Gerindra tidak ingin gegabah dalam merespons isu strategis tersebut.
“Kami akan mengundang para ahli dan melakukan kajian menyeluruh. Termasuk menyerap aspirasi dari masyarakat agar pemilu ke depan lebih baik dan berkualitas,” ujar Bahtra.
Gerindra juga membuka ruang partisipasi publik untuk mendapatkan masukan dari berbagai elemen masyarakat.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima mengatakan, pihaknya terus menyerap aspirasi dan melakukan simulasi terkait pemisahan pemilu yang diatur dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024.
“Komisi II terus melakukan belanja informasi dari kalangan akademisi, politisi, budayawan, hingga rohaniawan. Ini bagian dari evaluasi rutin setiap lima tahun terhadap UU Pemilu,” kata Aria.
Menurut politisi PDI-Perjuangan itu, evaluasi tersebut bisa berujung pada perubahan, penambahan, atau amandemen undang-undang pemilu sebagai upaya penyempurnaan demokrasi nasional.
Aria menjelaskan, Komisi II tengah mengkaji dua skema pemisahan pemilu:
Pemisahan Horizontal, yaitu: Pemilu eksekutif (Pilpres, Pilgub, Pilbup/Walikota) dilakukan serentak.
Pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD) dilakukan serentak, namun di tahun berbeda.
Pemisahan Vertikal, yaitu: Pemilu nasional seperti Pilpres, DPR RI, dan DPD dilakukan lebih dulu.
Pemilu daerah (Pilkada dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota) menyusul di waktu terpisah.
“Pengalaman sebelumnya menunjukkan tumpang tindih antara Pilpres, Pileg, dan Pilkada menimbulkan ekses besar, termasuk istilah ‘Pilkada rasa Pilpres’,” jelas Aria.
Ia juga menyebut bahwa opsi mendahulukan Pilkada dan pemilihan DPRD sebelum pemilu nasional turut dikaji untuk memastikan efektivitas dan efisiensi pemilu mendatang.
Sebagai informasi, MK memutuskan bahwa mulai Pemilu 2029, pelaksanaan pemilu nasional (DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden) dan pemilu daerah (DPRD dan kepala daerah) akan dilakukan secara terpisah. Putusan ini merupakan hasil dari permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). (ant/c1/abd)