Urban Farming: Alternatif Praktis Kemandirian Pangan

M. Syanda Giantara Ali K.M., S.P., M.P.--
Ini bukan hanya mengurangi beban pasar, tapi juga mengurangi ketergantungan kita pada jalur distribusi panjang yang rawan krisis.Prof. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa dari IPB University menegaskan bahwa pertanian kota bukan lagi alternatif, melainkan kebutuhan dalam sistem pangan yang rapuh dan sentralistik.
Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa dalam dunia yang makin kompleks, solusi justru lahir dari yang paling sederhana—dari pekarangan, dari tangan warga, dari rumah.
Dengan urgensi tersebut, urban farming kini berkembang dalam berbagai bentuk. Pada skala rumah tangga, masyarakat mulai menanam kangkung, bayam, tomat, atau kelor.
Budidaya ikan dalam ember, kolam fiber mini, hingga ternak ayam kampung mulai populer sebagai sumber protein mandiri.
Seorang ibu rumah tangga di kota pinggiran pernah berkata, “Sejak menanam kangkung dan tomat di ember, saya tidak pernah lagi beli sayur pagi-pagi.
Tinggal petik, masak, makan.” Kalimat itu barangkali terdengar sederhana, tetapi menyimpan pesan besar tentang kemandirian.
Di skala komunitas, banyak kelompok warga mulai mengelola kebun kolektif, rumah bibit bersama, hingga bank kompos lokal.
Tidak membutuhkan infrastruktur kompleks, hanya semangat gotong royong dan kemauan belajar.
Tantangannya bukan pada lahan, melainkan pada literasi teknis dan motivasi warga. Seperti diungkapkan Dr. Siti Maisaroh dari Universitas Lampung, “Kendala utama dalam urban farming bukan pada lahan, tetapi pada literasi teknis dan motivasi warga.
Dengan pendampingan ringan, rumah tangga di perkotaan pun bisa mandiri pangan.” Maka, yang dibutuhkan bukan program besar dengan biaya tinggi, tapi intervensi kecil yang tepat sasaran: pelatihan praktis, penyediaan bibit produktif, dan penguatan komunitas.
Lebih dari sekadar aktivitas bertanam, urban farming juga menghadirkan nilai sosial dan budaya. Ia membuka ruang belajar bagi anak-anak, memperkuat peran produktif ibu rumah tangga, dan menjadi aktivitas sehat bagi lansia.
Di tengah dunia yang makin terputus dari tanah dan musim, kegiatan menanam menjadi pengingat akan siklus hidup dan ketergantungan kita pada alam.
Mary Corcoran dari Maynooth University menyebut urban farming sebagai cara mengambil kembali kendali atas apa yang kita konsumsi.
Dalam dunia yang serba instan dan digital, menanam justru menjadi tindakan paling personal dan bermakna.Urban farming tidak harus dimulai dari proyek besar.
Cukup dari beberapa ikan lele di ember, beberapa butir telur dari ayam di pekarangan, segenggam kacang tanah dalam galon bekas, atau bayam yang tumbuh subur di polybag. Setiap kali kita memanen protein atau sayuran dari halaman sendiri, kita sedang melatih tangan dan naluri untuk mandiri.