Aria Bima: Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Tak Bisa Diputuskan Sepihak

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDIP Aria Bima menilai perpanjangan masa jabatan DPRD perlu kajian mendalam dan kesepakatan lintas lembaga.-FOTO RICARDO/JPNN -
JAKARTA – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima angkat bicara soal wacana perpanjangan masa jabatan anggota DPRD, sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Menurutnya, putusan MK tersebut akan membawa implikasi ketatanegaraan yang tidak sederhana. Ia mengingatkan agar seluruh pihak mencermati dampak putusan ini secara mendalam agar tidak menimbulkan persoalan baru dalam sistem demokrasi dan penyelenggaraan pemilu nasional.
“Perpanjangan masa jabatan DPRD, misalnya, bukan perkara mudah. Perlu duduk bersama antara DPR, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyepakati langkah-langkah strategis guna mengantisipasi konsekuensi dari putusan MK tersebut,” ujar Aria Bima, dikutip dari JPNN.com, Senin (30/6/2025).
Politikus Fraksi PDI Perjuangan ini menilai bahwa kondisi ini semakin menguatkan urgensi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang baru secara menyeluruh.
Ia menyarankan pembahasan RUU Pemilu tidak cukup hanya melalui Panitia Kerja (Panja), tetapi idealnya melibatkan Panitia Khusus (Pansus) lintas komisi karena persoalan yang dihadapi sangat kompleks.
“Apakah nantinya perlu penambahan pasal peralihan atau penyisipan norma baru dalam UU Pemilu, itu harus dipikirkan secara integral, tidak bisa sepotong-sepotong. Ini menyangkut desain besar penyelenggaraan pemilu yang akan memengaruhi ekosistem demokrasi nasional,” tegasnya.
Lebih lanjut, Aria Bima juga menekankan pentingnya pendekatan kodifikasi atau omnibus law dalam penyusunan undang-undang kepemiluan agar menghasilkan regulasi yang komprehensif dan adaptif terhadap dinamika terbaru.
“Undang-Undang Pemilu ke depan harus merupakan hasil dari proses corrective action yang menyeluruh dan menjawab tantangan yang belum terakomodasi dalam undang-undang yang berlaku sekarang,” pungkasnya.
Diketahui Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin mengakui pihaknya bekerja ekstrakeras ketika pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah digelar secara bersamaan.
Pernyataan tersebut disampaikan Afifuddin sebagai tanggapan atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengatur pemisahan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
“Ya, memang tahapan yang beririsan, bahkan bersamaan secara teknis lumayan membuat KPU harus bekerja ekstra,” ujar Afifuddin melalui pesan singkat, Jumat (27/6).
Meski begitu, mantan Komisioner Bawaslu itu menyebut KPU belum bisa memberikan tanggapan substantif karena masih mempelajari isi putusan secara mendalam.
“Kami menghormati putusan MK dan akan pelajari secara detail putusan MK tersebut,” tambahnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemilu nasional dan daerah harus dipisahkan pelaksanaannya. Dalam putusan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tersebut, MK menyebut pemilu nasional dan daerah harus diberi jeda waktu paling lama 2 tahun 6 bulan.
Menyikapi putusan itu, Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizami Karsayuda mengatakan masa jabatan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota berpotensi diperpanjang.
“Anggota DPRD, satu-satunya cara adalah dengan memperpanjang masa jabatan,” ujar Rifqi, Jumat (27/6).
Menurut politisi Fraksi NasDem itu, kekosongan jabatan bisa terjadi di lembaga legislatif karena tidak ada aturan yang memungkinkan penunjukan pejabat sementara, berbeda dengan posisi kepala daerah yang bisa diisi oleh penjabat sesuai ketentuan yang berlaku.
“Kalau pejabat gubernur, bupati, wali kota bisa ditunjuk penjabat seperti yang kemarin. Tapi kalau DPRD, tidak ada aturannya,” jelas Rifqi.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepakat penyelenggaraan pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) sebaiknya tidak dilakukan dalam tahun yang sama.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menegaskan bahwa usulan ini didasarkan pada evaluasi pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak 2024 yang dinilai menimbulkan beban berat bagi penyelenggara.
Bagja menjelaskan bahwa saat tahapan Pemilu 2024 belum sepenuhnya rampung, tahapan Pilkada serentak sudah dimulai.
“Tahapan pemilu belum berakhir, kemudian tahapan pilkada sudah dimulai. Untuk itu, Bawaslu mengusulkan adanya jeda antara pemilu dan pilkada serentak,” ujar Bagja dalam diskusi daring yang diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (UII), Rabu (18/6/2025).
Bagja mengusulkan jeda waktu sekitar dua tahun antara pemilu dan pilkada, agar penyelenggara memiliki ruang kerja yang lebih optimal sekaligus menjaga kualitas demokrasi.
“Tidak bisa lagi disamakan dengan Pemilu sebelum 2020 yang dilaksanakan secara bergelombang. Pilkada kini dilaksanakan serentak. Dengan adanya jeda, diharapkan kerja KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara dan pengawas bisa lebih maksimal,” tambahnya.
Selain itu, Bagja juga mengungkapkan tantangan pengawasan dalam Pilkada Serentak 2024 lalu, salah satunya terkait akses terhadap sistem informasi pencalonan (Silon).
’’Pengawas pemilu tidak diberikan akses penuh atau sangat terbatas terhadap dokumen pencalonan yang diunggah ke Silon,” ungkapnya. (jpnn/c1/abd)