Terus Merugi, Petani Singkong di Lampung Putus Asa

-GRAFIS/EDWIN RADAR LAMPUNG-
Pada panen minggu lalu, dari 12 ha itu, mereka hanya mendapatkan uang lebih dari selisih biaya dan pendapatan cuma Rp2,9 juta keseluruhan.
’’Jadi per 1 haktate tidak sampai Rp300 ribu. Kalau dihitung dari biaya transportasi untuk sekadar memantau kebun, rasanya saya tidak dapat apa-apa. Bahkan rugi untuk investasi selama 11 bulan,” ujar Yusuf kepada Radar Lampung.
Radar mencoba mengambil harga terbaik untuk petani, yakni Rp1.350 per kilogram dengan rafaksi 35 persen. Maka harga yang diterima petani dari pabrik adalah Rp877. Dikurangi biaya cabut dan transportasi Rp210. Berarti hanya tersisa Rp667.
Selain itu, petani singkong juga harus menanggung biaya lain-lain. Seperti biaya makan dan minum serta rokok sopir, biaya satpam, biaya bongkar muat, biaya gorengan pekerja, dan lain-lain. Jumlah ini bisa mencapai Rp350–Rp400 ribu per 1 truk.
Jika dihitung total biaya ini bisa mencapai Rp75 ribu per ton. Maka total bersih pendapatan petani singkong hanya Rp590 per kg.
BACA JUGA:Pererat Silaturahmi, BPKH Kunjungi Radar Lampung Bangun Kerja Sama Media
Masalah yang terjadi di lapangan, truk-truk pengangkut singkong mereka umumnya harus menunggu antrean. Antrean ini bisa memakan waktu hingga 2 hari.
Jika harus menunggu, maka membutuhkan biaya tambahan untuk sopir. Besarannya bisa mencapai Rp350 ribu per 1 truk. Maka pendapatan bersih yang diterima petani sudah di bawah Rp515 per kg.
Dan sopir pun enggan menunggu dalam waktu lama karena mereka juga akan rugi jumlah rate angkutan. Jadi dengan skema harga dan rafaksi terbaik saja, petani sudah merugi. Bayangkan kalau pabrikan menerapkan rafaksi di atas 35 persen, maka petani singkong kian menjerit. Menangis tanpa lagi bisa mengeluarkan air mata.
Itulah akhirnya petani lebih memilih menjual ke lapak-lapak saja. Harga lapak antara Rp950–Rp1.050 per kg dengan rafaksi rata-rata 33-37 persen.
Meskipun menerima Rp700 dipotong upah cabut dan angkut Rp210, maka yang diterima bersih hanya Rp490/500 per kilo. Terpaksa karena menghindari risiko yang lebih besar lagi. Karena dalam pikiran petani menjual ke lapak dan pabrik hasilnya sama saja. Toh mereka pun tetap menerima bersih per kilo di bawah Rp500.
Penelusuran Radar Lampung Media Group, anjloknya harga singkong ini tidak akan merugikan pelapak. Kalaupun ada pelapak yang mati itu lebih disebabkan karena mereka bukan termasuk pelapak yang memiliki hubungan baik dan kerjasama dengan pabrik.
Sebagian besar pelapak yang masih hidup ini bisa dikategorikan pelapak binaan pabrik. Bahkan bisa dikatakan lapak milik pabrik untuk mendapatkan singkong dengan harga yang sangat murah.
BACA JUGA:Isu Pergeseran Tanah Dekat Tol Cipularang, Ini Penjelasan Resmi Jasa Marga
Soal keberadaan lapak binaan pabrik ini memang dirasakan petani singkong. Namun, petani sulit membuktikannya. Ibarat kentut. Ada bau tapi tidak terlihat.