Kemendagri Larang Ormas Kenakan Seragam Mirip TNI-Polri, Sahroni Dukung Langkah Tegas

Kemendagri melarang ormas mengenakan seragam yang menyerupai TNI, Polri, dan Kejaksaan. -FOTO DOK. JAWAPOS -

JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan ormas dilarang mengenakan seragam yang menyerupai TNI, Polri, dan Kejaksaan. Aturan tersebut merujuk pada Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mendukung keputusan tersebut. Menurutnya, penggunaan seragam aparat oleh ormas dapat menimbulkan kesalahan persepsi dan masalah keamanan di tengah masyarakat.
“Saya sudah menyampaikan sebelumnya bahwa ormas tidak boleh menggunakan seragam yang menyerupai aparatur negara, apalagi TNI dan Polri. Makanya, apabila sekarang Kemendagri tegas melarang, tentu saya sepenuhnya setuju,” ujar Sahroni, Senin (16/6).
Bendahara Umum Partai NasDem itu juga menilai, ormas kerap melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat, padahal hal tersebut di luar kewenangan ormas.
“Praktik semacam ini memang meresahkan masyarakat. Ormas yang bukan aparat tiba-tiba tampil di ruang publik dengan seragam militeristik, sehingga tampak selevel TNI dan Polri. Makanya, saya meminta kepolisian untuk tegas dan memastikan ormas patuh, sehingga tak ada lagi yang petantang-peteng bak jagoan,” katanya.
Sahroni juga meminta Kemendagri memberikan tenggat waktu yang jelas bagi ormas untuk mengganti seragam mereka. Jika tak diindahkan, sanksi harus diberlakukan, mulai dari peringatan hingga pencabutan SK.
“UU-nya sudah ada, tinggal ditegakkan. Saya harap Kemendagri memberikan batas waktu, misalnya 30 hari, untuk ormas mengganti seragam. Kalau memang masih melawan atau mencari alasan, ya diberi sanksi tegas, sampai pencabutan SK, tanpa peduli ukuran ormas tersebut — besar atau kecil,” pungkas Sahroni.
Pemerintah akhirnya membentuk Satuan Tugas (Satgas) Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Ormas.
Satgas tersebut didirikan seiring polemik di tengah masyarakat terkait keberadaan ormas dan praktik premanisme yang meresahkan.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan satgas besutan pemerintah pusat ini diketuai oleh Menkopolkam Budi Gunawan.
’’Dari Satgas Polkam, Kemendagri salah satu bagian (Satgas Premanisme),” kata Tito di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (8/5).
Mantan Kapolri ini membeberkan satgas itu memiliki misi menegakkan aturan-aturan yang sudah ada. ’’Jadi satgas ini lebih utamanya bagaimana menegakkan aturan-aturan yang sudah ada, jadi siapa yang berbuat apa. Di antaranya mengenai penegakan aturan yang sudah ada, dalam aturan mengenai keormasan, kan ada yang badan hukum, ada yang terdaftar dan ada yang tidak terdaftar,” jelas Tito.
’’Nah kalau badan hukum terdaftar yang melakukan penindakan kalau terjadi pelanggaran hukum itu dari Kementerian Hukum. Karena yang memberikan izin itu Kemenkum,” sambungnya.
Ia menjelaskan bagi ormas yang berbadan hukum namun terdaftar Kemendagri yang melakukan pelanggaran maka akan diberikan sanksi dari Kemendagri.
“Kalau sanksinya pidana otomatis penindakan dari penegak hukum, kepolisian terutama. Kalau yang berbadan hukum dari kementerian hukum, kemudian yang terdaftar di kemendagri otomatis dari kemendagri,” ungkapnya.
Ia menjelaskan salah satu sanksi bagi ormas yang melanggar yaitu akan dilepas status terdaftar.
“Apa resikonya ormas yang tidak terdaftar, tidak terdaftar ya tidak mendapat pelayanan fasilitas pemerintah, dana hibah lah pokoknya,” tuturnya.
Meski demikian, ia tak menjelaskan sampai kapan batas waktu Satgas tersebut bekerja. Ia meminta agar hal tersebut ditanyakan langsung ke Menkopolkam. “Itu nanti tanya kemenpolkam, satgasnya dari polkam,” tutupnya.
Sebelumnya, pemerintah juga akan membentuk Satuan Tugas Terpadu Premanisme dan Ormas. Hal ini dilakukan untuk menjaga ketertiban dan rasa aman.
Menko Polkam Budi Gunawan menyampaikan bahwa pemerintah akan membuka kanal pengaduan yang bisa diakses oleh masyarakat dan pelaku usaha.
“Kami akan segera membentuk Satgas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Ormas serta melakukan pembinaan terhadap ormas-ormas bermasalah yang mengganggu keamanan dan menghambat investasi. Satgas ini akan melibatkan TNI, Polri, dan seluruh instansi terkait dalam satu komando yang terpadu danresponsif,” jelas Menkopolkam.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengevaluasi sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang dinilai membuat kegaduhan dan mengganggu ketertiban umum.
Menurutnya, meskipun konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, hak tersebut tidak boleh digunakan untuk merusak persatuan bangsa dan mengganggu ketertiban masyarakat.
“Kalau kebebasan berserikat dan berkumpul justru mengganggu persatuan, menimbulkan ketidakadilan, atau bahkan melanggar nilai-nilai kemanusiaan, maka Kemendagri harus melakukan evaluasi terhadap ormas tersebut. Jika diperlukan, sanksi hingga pembubaran bisa dilakukan,” kata Aria Bima di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Politikus PDI Perjuangan ini menegaskan bahwa pemerintah perlu bertindak tegas terhadap ormas yang dinilai menyimpang dari prinsip persatuan dan toleransi. Ia mencontohkan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) yang dilakukan pemerintah karena dianggap menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Kita pernah membubarkan HTI dan FPI karena dianggap tidak memperkuat semangat persatuan Indonesia dan melakukan tindakan intoleransi yang merusak kebhinekaan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Aria menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menjaga stabilitas dan ketertiban nasional. Ia menolak adanya ormas yang bertindak seolah-olah memiliki kewenangan dalam urusan pertahanan dan keamanan.
“Urusan pertahanan dan keamanan adalah tugas aparat negara. Tidak boleh ada organisasi yang merasa berhak mengambil alih peran tersebut, apalagi sampai menimbulkan keonaran yang mengganggu kesatuan bangsa,” tegasnya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menegaskan organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan pengerusakan harus ditindak.
Hal ini menanggapi banyaknya kasus oleh oknum anggota ormas yang melakukan aksi premanisme, salah satunya pembakaran mobil polisi di Depok.
“Kalau seandainya (aksi ormas) itu merusak segala macam, itu kan pidana. Kalau pidana, ya, otomatis harus ditindak, proses pidana. Kemudian, harus tegakkan hukum supaya ada stabilitas keamanan dijaga,” terang Tito ketika ditemui di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, 25 April 2025.
Sementara apabila aksi tersebut merupakan ulah perorangan, orang tersebut yang bertanggung jawab.
“Tapi kalau seandainya itu adalah kegiatan yang sistematis dan ada perintah dari ormasnya, keputusan bersama ormasnya. Secara organisasi, maka bisa dikenakan juga ormasnya pidana, korporasinya,” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa akan melakukan evaluasi terhadap undang-undang terkait ormas.
“Undang-undang ormasnya kita akan melakukan evaluasi karena kita paham, dulu, kan, (UU) ormas itu dibuat, dibentuk ketika zaman reformasi untuk adanya kebebasan berserikat dan berkumpul,” kata Tito kemudian.
Ormas ini dibentuk untuk mengakomodir hak sipil (civil rights) yang salah satu di antaranya kebebasan berserikat atau freedom of congregation.
Namun demikian, seiring berjalan waktu tentu terdapat perubahan situasi sehingga tidak menutup kemungkinan dilakukan perubahan-perubahan terhadap kebijakan tersebut.
“Nah, kalau seandainya ada ormas, kita lihat banyak sekali peristiwa ormas yang kebablasan, mungkin perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat,” tandasnya.
Termasuk salah satunya pengawasan atau audit keuangan.
“Maka bisa saja undang-undang Ormas itu juga direvisi. Tapi, nanti, kan, yang memutuskan, kalau usulan pemerintah, kan, diserahkan kepada DPR. Nanti DPR yang membahasnya dan menjadi keputusan,” cetusnya. (jpc/c1/abd)

Tag
Share