UU Cipta Kerja Terhadap Hak Pekerja dan Perlindungan Buruh

-FOTO IST -
RADAR LAMPUNG – Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disahkan dengan dalih meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja, kini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, khususnya terkait dampaknya terhadap perlindungan tenaga kerja.
Salah satu poin krusial yang mendapat sorotan adalah fleksibilitas pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diatur dalam UU ini. UU Cipta Kerja memberikan keleluasaan lebih kepada perusahaan untuk melakukan PHK tanpa harus melalui proses bipartit terlebih dahulu. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya PHK sepihak yang merugikan pekerja.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, dalam sebuah diskusi daring bertajuk “Potret Hukum Ketenagakerjaan Pasca UU Cipta Kerja”, menyebut bahwa UU ini gagal menyelesaikan persoalan dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya. Bahkan, menurutnya, sejumlah aturan baru justru memperburuk kondisi pekerja, terutama dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), alih daya (outsourcing), dan pengupahan.
“UU Cipta Kerja tidak menyentuh akar persoalan pekerja informal yang selama ini minim perlindungan hukum. Fokus perlindungannya hanya pada pekerja sektor formal yang terikat kontrak kerja,” ujarnya.
Nabiyla juga mengkritik penghapusan batasan jenis pekerjaan untuk alih daya. Menurutnya, ketentuan ini membuka peluang eksploitasi buruh karena semua jenis pekerjaan kini bisa dialihdayakan tanpa batas.
Meski begitu, ia mengapresiasi satu aspek positif dari UU ini, yakni adanya program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang memberikan manfaat bagi pekerja yang terkena PHK, berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan keterampilan.
Namun, secara umum, Nabiyla menilai bahwa perubahan dalam UU ini terlalu berpihak pada kepentingan pengusaha dan melemahkan posisi tawar pekerja. Terlebih lagi, data BPJS 2019 menunjukkan bahwa 65% pekerja Indonesia berada di sektor informal yang tidak tersentuh perlindungan dari UU ini.
“Jika perlindungan pekerja terus diabaikan dalam regulasi, maka ketimpangan hubungan kerja akan semakin tajam. Perlu revisi dan pendekatan hukum yang lebih adaptif terhadap perubahan zaman,” pungkasnya. (*)