Royalti Minerba Naik, Industri Tambang Tetap Tancap Gas

Ilustrasi batu bara--FOTO ANTARA

JAKARTA  - Meski dibayangi pelemahan harga batu bara dan penyesuaian tarif royalti mineral dan batu bara (minerba), emiten sektor tambang tetap optimistis kinerja mereka tumbuh pada 2025. Pelaku industri memilih fokus memperkuat efisiensi operasional untuk menjaga profitabilitas di tengah tekanan biaya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menyebutkan perubahan aturan royalti mencerminkan kebutuhan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama di tengah defisit APBN.

 

"Dari sisi negara, kebijakan ini positif karena menambah penerimaan, meski dampaknya ke pelaku usaha cukup berat," ujar Bisman kepada Investor Daily, Minggu (27/4/2025).

 

Namun, Bisman mengingatkan kenaikan royalti di tengah kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih, ditambah kenaikan PPN dan kewajiban devisa hasil ekspor (DHE), bisa membuat sejumlah perusahaan tambang menunda rencana ekspansi. Bisman berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan ini, termasuk memberikan insentif agar sektor pertambangan tidak terbebani secara berlebihan.

 

Sementara itu, ekonom energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, kenaikan royalti merupakan langkah tepat untuk memperbesar penerimaan negara. Ia menilai margin keuntungan perusahaan tambang tetap besar meskipun ada penyesuaian tarif.

 

"Dengan harga pokok produksi batu bara sekitar USD35 per metrik ton dan harga jual saat ini sekitar USD120, profit masih besar. Jadi, meskipun royalti naik, dampaknya tidak signifikan terhadap industri," kata Fahmy.

 

Fahmy juga mendorong pemerintah mempercepat program hilirisasi sektor tambang untuk meningkatkan nilai tambah.

 

"Hilirisasi wajib dilakukan agar paradigma 'geduk-jual' bisa berubah," tambahnya.

Tag
Share