Nilai Rupiah Dekati Rp17 Ribu Per Dolar AS

MATA UANG: Suasana penukaran mata uang dolar Amerika ke mata uang rupiah di salah satu pusat penukaran mata uang asing di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, Minggu (6/4). -Foto Berita Satu Photo/Joanito De Saojoao-
JAKARTA - Nilai tukar rupiah atas dolar Amerika Serikat (AS) hamper mendekati Rp 17.000 per 1 dolar AS. Melemahnya nilai rupiah terjadi di tengah mayoritas mata uang Asia yang bervariasi.
Hingga Senin 7/4) pagi, nilai tukar atau kurs rupiah pada awal perdagangan di Jakarta melemah sebesar 251 poin atau 1,51% menjadi Rp 16.904 per dolar AS dari sebelumnya Rp 16.653 per dolar AS.
Kemudian dolar Taiwan turun 0,78% menjadi 33,2 dolar Taiwan per dolar AS, won Korea melemah 0,47% menjadi 1,468 won per dolar AS, dan yuan China turun 0,45% menjadi 7,3 yuan per dolar AS.
Sementara, saat nilai tukar rupiah turun, beberapa mata uang Asia naik, seperti yen Jepang menguat 0,35% menjadi 146,4 yen per dolar AS, dolar Hong Kong mengalami kenaikan tipis 0,04% menjadi 7,7 dolar Hong Kong per dolar AS, dan rupe India naik 0,24% menjadi 85,23 rupe per dolar AS.
Nilai tukar rupiah menjadi sorotan setelah AS menerapkan kebijakan tarif resiprokal (Reciprocal Tariff).
Menurut Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan, kebijakan tersebut berpotensi memberikan tekanan terhadap posisi rupiah terhadap dolar AS.
“Beruntung saat ini kita masih dalam masa libur, jadi dampak langsung terhadap nilai tukar rupiah belum terlihat secara konkret. Meskipun sebelumnya sempat terjadi pelemahan, tetapi ada tanda-tanda pemulihan kembali,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk “Waspada Genderang Perang Dagang” yang diselenggarakan oleh Indef di Jakarta beberapa waktu lalu.
Fadhil menjelaskan bahwa kebijakan tarif resiprokal dapat membuat harga barang impor yang masuk ke pasar Amerika Serikat menjadi lebih mahal.
Kenaikan harga tersebut bisa memicu lonjakan inflasi di Negeri Paman Sam.
Dalam kondisi seperti ini, Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kemungkinan akan mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga atau menunda pemotongan suku bunga sebagai langkah pengendalian inflasi.
Bila inflasi di AS meningkat dan disertai dengan kenaikan suku bunga The Fed, hal ini bisa menimbulkan aliran modal keluar (capital outflow) dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Situasi ini akan menjadikan instrumen keuangan AS, seperti obligasi, lebih menarik bagi investor global.
Aliran modal yang keluar dari pasar domestik berpotensi memperlemah nilai tukar rupiah, terutama jika tidak diimbangi oleh langkah-langkah stabilisasi dari otoritas moneter Indonesia.
Sedangkan pengamat pasar uang, Ariston Tjendra menganggap pelemehan rupiah dipengaruhi respon negatif negara-negara atas kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat.
"Sentimen negatif dari pengumuman kebijakan tarif Trump (Presiden AS Donald Trump) yang direspons negatif oleh negara-negara yang dinaikkan tarifnya menjadi pemicu utama pelemahan rupiah," ucap Ariston yang juga merupakan presiden direktur PT Doo Financial Futures ini, dilansir dari Antara, Senin (7/4).
Pasar, kata Ariston khawatir ekonomi global tidak baik-baik saja karena mengalami penurunan akibat perang dagang yang didorong kebijakan tarif resiprokal AS. Hal ini memicu pelaku pasar keluar dari aset berisiko dan masuk ke aset aman.
Ketiga, pelemahan kurs rupiah juga dipengaruhi data tenaga kerja nonfarm payrolls AS yang lebih bagus dari proyeksi.
Keempat, sentimen negatif untuk pergerakan aset berisiko datang pula dari perang yang masih berlangsung di sejumlah wilayah dengan tensi yang meningkat.(beritasatu/nca)