Evaluasi Pemilihan Kepala Daerah Diperlukan Setelah Pelantikan, KPU Akan Berikan Rekomendasi untuk Pembentukan

Anggota KPU Yulianto Sudrajat menyampaikan pentingnya evaluasi pasca pelantikan kepala daerah terpilih sebagai bahan masukan untuk perbaikan di masa mendatang. -FOTO KPU -

JAKARTA – Penyelesaian pemilihan kepala daerah (pilkada) telah mencapai tahap pelantikan kepala daerah terpilih. Namun masih terdapat 24 daerah yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU).
Bagi daerah yang telah menyelesaikan penyelenggaraan pilkada, evaluasi menjadi langkah penting yang perlu dilakukan. Evaluasi tidak hanya bertujuan mengukur sukses atau tidaknya tahapan, tetapi juga sebagai bahan rekomendasi untuk perbaikan dalam penyelenggaraan pilkada berikutnya.
Menurut Anggota KPU, Yulianto Sudrajat, evaluasi harus disusun secara berjenjang mulai dari kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat pusat. Evaluasi ini akan menjadi masukan yang sangat berharga bagi pembentuk Undang-Undang (UU), terutama mengingat tahun ini akan ada pembahasan legislasi UU Pemilu dan Pilkada.
“Terlepas dari ada kekurangan atau kelemahan yang ditemukan, hal itu menjadi pelajaran bagi kita bersama. Semua itu akan menjadi rekomendasi ketika kita melakukan evaluasi. Ke depannya, kita akan membuat standar evaluasi dan hasilnya nanti akan kami jadikan rekomendasi untuk memberikan masukan kepada pembentuk UU,” ujar Drajat, sapaan akrab Yulianto, saat menerima kunjungan Ketua dan Anggota KPU Provinsi serta Kabupaten/Kota Divisi Keuangan, Umum, Logistik, dan Perencanaan se-Sumatera Barat, di Ruang Sidang Utama Gedung KPU.
Drajat melanjutkan bahwa evaluasi yang disampaikan nanti akan mencakup berbagai aspek. Dari hasil evaluasi tersebut, KPU berharap dapat menjadi lembaga yang memberikan manfaat besar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Ia juga berharap eksistensi KPU semakin baik dan terus diperkuat.
Pada kesempatan tersebut, Drajat juga menyampaikan apresiasi kepada jajaran KPU di Sumatera Barat yang telah bekerja keras untuk menyukseskan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Mengenai PSU yang masih tersisa di Kabupaten Pasaman, Drajat berpesan agar KPU setempat mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, mulai dari anggaran, proses pencalonan, hingga logistik.
Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengadakan rapat evaluasi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024.
Rapat ini juga sekaligus menyusun rekomendasi untuk desain Pilkada 2029 yang lebih efektif, efisien, dan demokratis. Kegiatan berlangsung di aula BSKDN, Jakarta, Rabu (22/1).
Kepala BSKDN, Yusharto Huntoyungo, dalam sambutannya menyampaikan bahwa Pilkada harus mampu melahirkan pemimpin daerah yang kuat, bersih, dan berintegritas.
 Yusharto mengungkapkan bahwa pihaknya telah memetakan beberapa isu strategis dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2024, salah satunya adalah adanya calon tunggal di 37 daerah. Fenomena ini menjadi tantangan dalam menciptakan demokrasi yang kompetitif.
“Terdapat 37 daerah dengan calon tunggal, dengan jumlah terbanyak terdapat di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki enam daerah dengan calon tunggal,” ungkap Yusharto.
Isu lainnya yang menjadi perhatian dalam evaluasi ini adalah masih ditemukannya pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) selama Pilkada 2024. Menurutnya, penguatan pengawasan dan penegakan aturan harus terus ditingkatkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa depan.
Selain itu, biaya politik yang tinggi juga menjadi sorotan utama. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyoroti kurangnya transparansi dalam pembiayaan kampanye. Politisi sering kali terlibat dalam praktik politik biaya tinggi yang berlangsung di ruang gelap tanpa adanya laporan dana kampanye yang jelas. Hal ini menjadi tantangan besar dalam menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan transparan.
“Tapi masalahnya, politik biaya tinggi sering terjadi di ruang yang tidak terlihat. Ketika kita melihat laporan dana kampanye, sering kali tidak ada transparansi, dan tidak ada instrumen kuantitatif formal yang bisa menunjukkan besarnya biaya tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menekankan bahwa Pilkada yang ideal harus berlandaskan pada filosofi Pancasila dan UUD 1945, serta menghormati kekhususan daerah dan menjamin integritas elektoral.
Pilkada, menurutnya, harus dilakukan secara kompetitif, aman, dan nyaman, karena Pilkada yang efisien dan demokratis merupakan kunci untuk menghasilkan pemimpin daerah yang kuat dan bersih.
“Pemilihan pemimpin harus dilakukan secara bebas dan adil, serta dijamin agar aman dan nyaman. Pemilihan tidak boleh menimbulkan korban, dan itu harus dihindari,” ujarnya.
Di sisi lain, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, mengkritik fenomena “pokoknya menang” yang menciptakan iklim politik yang tidak sehat. Ia juga menyinggung anomali seperti Pilkada yang dihadapkan dengan “kotak kosong” sebagai indikasi bahwa sistem Pilkada yang ada saat ini belum ideal. Menurutnya, upaya perbaikan sistem Pilkada harus difokuskan pada penguatan hukum, penegakan etika, serta peningkatan literasi politik masyarakat.
“Ketika kita memaksakan sistem yang tidak aplikatif untuk kondisi kita dan tercerabut dari akar kita, maka dampaknya adalah hilangnya etika, bahkan hukum sering kali dilanggar,” pungkasnya. (kpu/c1/abd)

Tag
Share