Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf Usulkan Sistem Pemilu Hybrid untuk Redam Persaingan Internal Partai

FOTO DISWAY Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf mengusulkan sistem pemilu hybrid untuk mengurangi persaingan internal yang berlebihan di partai politik. DISWAY-FOTO DISWAY-
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf mengusulkan sistem pemilu secara hybrid sebagai opsi untuk memperbaiki sistem pemilu di Indonesia.
Menurut Dede, hal ini dapat mengurangi persaingan yang terlalu berlebih di internal partai politik. ’’Untuk mengurangi persaingan yang terlalu ketat, terutama di internal partai, ada dua opsi yang dapat dipertimbangkan: proporsional terbuka dan proporsional tertutup. Jadi, konsepnya bisa menjadi sistem hybrid,” ujar Dede di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3).
Usulan ini disampaikan Dede usai memimpin rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama sejumlah pakar mengenai pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu terkait revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
Dede menjelaskan bahwa penerapan sistem pemilu hybrid akan memberi ruang bagi masyarakat untuk memilih partai politik sekaligus calon anggota legislatif. Dengan begitu, partai politik dapat menentukan kader-kader terbaik yang layak diberikan kesempatan untuk bertarung dalam pemilu.
“Sehingga dari sini, partai dapat memilih kader yang berkompeten untuk diberikan kesempatan,” lanjutnya.
Selain pembahasan soal sistem pemilu, Dede juga menyoroti perlunya pembenahan database Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dia mengungkapkan, angka suara tidak sah yang mencapai lebih dari 15 juta suara merupakan indikator adanya masalah dalam pengelolaan data pemilih.
“Angka suara tidak sah yang mencapai lebih dari 15 juta sangat signifikan. Ini menunjukkan kurangnya ketelitian dalam pengelolaan data oleh penyelenggara pemilu,” kata Dede.
Menurut Dede, penyisiran database DPT perlu dilakukan secara berkala, misalnya setiap enam bulan atau setahun sekali, guna meminimalisir jumlah suara tidak sah pada pemilu mendatang.
“Database DPT perlu di-screening secara rutin oleh penyelenggara, untuk memastikan data yang digunakan sudah akurat dan valid,” ujarnya.
Dede juga menekankan perlunya perbaikan dalam mengatasi praktik politik uang (money politics), yang kerap terjadi pada setiap pemilu. Menurutnya, banyak calon yang tidak dikenal oleh masyarakat, sehingga mereka cenderung berlomba-lomba menawarkan transaksi politik untuk memenangkan suara.
“Ketika pilihan semakin banyak, masyarakat akhirnya cenderung memilih berdasarkan tawaran yang lebih besar, meskipun itu bukan berdasarkan kualitas calon,” jelas Dede.
Meskipun demikian, Dede mengingatkan bahwa penyelesaian masalah politik uang memerlukan waktu dan kecermatan. Proses perbaikan sistem pemilu harus dilakukan secara matang, tidak terburu-buru.
“Masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Proses perbaikan sistem pemilu harus dijalankan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan,” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menyatakan pihaknya berkomitmen memastikan proses pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu berlangsung secara terbuka dan transparan. Komitmen ini merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024, yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Rifqi menjelaskan transparansi dan keterbukaan adalah bagian dari partisipasi publik yang harus dijaga dalam proses pembentukan undang-undang.
Putusan MK tersebut menyarankan agar DPR dan pemerintah melakukan revisi yang tidak bertentangan dengan tujuan demokrasi.
Dalam hal ini, MK meminta agar penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dilaksanakan dengan hati-hati agar tidak merusak sistem politik yang sudah ada.
“Kami diberikan tugas oleh konstitusi, baik oleh DPR maupun pemerintah. Percayakan kepada kami, biarkan kami bekerja dengan baik dan transparan,” ujar Rifqinizamy saat konferensi pers, Senin (20/1).
Politikus Partai Nasdem ini juga menggarisbawahi bahwa masyarakat tidak perlu khawatir terhadap proses rekayasa konstitusi. Ia berjanji akan membuka ruang bagi publik untuk terlibat dalam memantau pembahasan revisi ini.
“Semua rapat di Komisi II DPR kini dapat disaksikan langsung melalui media sosial. Kami akan menjaga akuntabilitas dan transparansi di setiap tahapannya,” tegas Rifqi.
Menurut Rifqinizamy, MK bertindak sebagai negative legislator dalam hal ini, hanya membatalkan norma dalam Pasal 222 tanpa membentuk norma baru. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah perlu merespons dengan melakukan rekayasa konstitusi guna memenuhi kebutuhan demokrasi.
“Seandainya MK bertindak sebagai positive legislator, maka tidak perlu ada tugas rekayasa konstitusi. Namun karena tidak demikian, DPR dan pemerintah memiliki kewajiban untuk merancang aturan yang sesuai,” jelasnya.
Rekayasa konstitusi ini dimaksudkan untuk mengantisipasi munculnya terlalu banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Dalam pertimbangannya, MK meminta agar pembentukan norma dilakukan untuk mengatur hal tersebut, terutama terkait jumlah partai politik peserta pemilu yang berpotensi menghasilkan banyak pasangan calon.
“Jika partai politik peserta pemilu ada 30, bisa saja jumlah pasangan capres-cawapres juga sebanyak itu. Karena itu, kami diminta untuk melakukan konstitusional engineering sesuai dengan petunjuk MK,” ungkap Rifqi.
Sehubungan dengan itu, Komisi II DPR telah merencanakan rapat dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan penyelenggara pemilu untuk merumuskan norma yang diminta oleh MK. Pegiat kepemiluan dan akademisi juga akan dilibatkan dalam pembahasan ini.
“Meski saat ini sedang masa reses, kami tetap akan melaksanakan rapat pada tanggal 21 Januari untuk membuka masa sidang. Kami akan serius melakukan evaluasi pemilu dan mengundang berbagai pihak untuk memberikan masukan,” pungkas Rifqi.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan terdapat dua opsi jadwal pelantikan untuk kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024, baik yang bersengketa maupun yang tidak bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menyatakan bahwa opsi-opsi tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan para penyelenggara pemilu, termasuk Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
’’Komisi II DPR RI akan mengundang Mendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk merumuskan opsi-opsi pelantikan sesuai dengan peraturan yang ada,” ujar Rifqinizamy di Jakarta, Rabu (14/1). Rencananya, pertemuan tersebut digelar pada 22 Januari 2025 setelah masa reses.
Rifqinizamy menjelaskan, opsi pertama adalah pelantikan seluruh kepala daerah terpilih dilakukan serentak setelah seluruh putusan MK yang berkekuatan hukum tetap (incracht). Ia memperkirakan proses sengketa pilkada di MK akan selesai pada 12 Maret 2025. “Pelantikannya kita serahkan kepada Presiden karena dasar hukum pelantikan itu adalah Perpres,” katanya.
Opsi kedua adalah pelantikan dilaksanakan serentak untuk kepala daerah terpilih yang tidak bersengketa di MK. Sesuai dengan peraturan presiden yang ada, pelantikan gubernur dan wakil gubernur dijadwalkan pada 7 Februari 2025, sementara pelantikan bupati-wakil bupati serta wali kota-wakil wali kota dijadwalkan pada 10 Februari 2025.
“Pelantikan juga akan dilakukan serentak untuk mereka yang bersengketa sesuai dengan putusan MK, apakah akan ada Pemungutan Suara Ulang (PSU), penghitungan ulang, atau langkah lainnya setelah kita menerima putusan tersebut,” ujarnya.
Namun, Rifqinizamy mengungkapkan adanya dilema atau problematika hukum terkait dengan penetapan jadwal pelantikan kepala daerah. Menurutnya, putusan MK Nomor 46 Tahun 2024 menyatakan bahwa pelantikan hanya dapat dilakukan setelah seluruh sengketa di MK selesai dan memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, pengecualian dibuat untuk daerah yang harus melaksanakan PSU, penghitungan suara ulang, atau pilkada ulang karena adanya keadaan force majeure.
Di sisi lain, Rifqinizamy menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Pasal 160 dan 160A, menyebutkan bahwa pelantikan adalah bagian dari tahapan yang dilakukan oleh KPU di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, dengan waktu pelantikan yang sudah diatur. “Jika kita menunggu putusan MK selesai pada pertengahan Maret 2025, maka ada kemungkinan kita melanggar dua pasal dalam undang-undang ini,” katanya. (ant/c1/abd)