Kejaksaan Agung Buka Peluang Periksa Ahok dalam Kasus Dugaan Korupsi Pertamina
Kejaksaan Agung menyiapkan pemeriksaan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait dugaan korupsi di Pertamina, yang melibatkan sejumlah pejabat dan pihak swasta. -FOTO DISWAY -
Terkait proses pengawasan, ia mengungkapkan bahwa kualitas produk BBM diawasi melalui uji sampling yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, khususnya lembaga migas.
“Kami juga memberikan data-data kami sering mendapat informasi ataupun request dari SPBU dari seluruh Indonesia dan itu rutin dilakukan dan kami memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada lem migas untuk melakukan uji kualitas terhadap produk yang kita pasarkan,” jelasnya.
Lebih lanjut, mengenai pengawasan terkait campuran adiktif pada Pertamax, Ega menjelaskan bahwa setiap tahapan, mulai dari penerimaan impor hingga pengisian bahan bakar di SPBU, diawasi.
“Pada saat menerima impor, sebelum loading, hingga uji laboratorium sebelum bongkar, semuanya ada pengawasan,” ujar Ega.
Ia menyebutkan bahwa untuk Pertamax, Pertamina menggunakan adiktif dengan formula khusus. “Kita menggunakan adiktif dengan kadar 0,33 ml per liter, dan adiktif yang kita pakai adalah merk Afton,” tambahnya.
Mengenai pertanyaan apakah hanya ada satu jenis adiktif di dunia, Mars Ega menyebutkan bahwa ada beberapa jenis adiktif, namun Pertamina memilih untuk melakukan lelang dan menggunakan Afton untuk produk Pertamax. “Ada banyak dan kita melalukan lelang,” ungkapnya.
Terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar meminta agar masyarakat tak khawatir terkait dugaan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax (RON 92) yang dioplos dari Pertalite (RON 90) buntut adanya kasus dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Harli menjelaskan praktik pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax itu terjadi antara 2018 hingga 2023.
“Jangan berpikir minyak yang digunakan sekarang adalah oplosan. Itu tidak tepat,” kata Harli kepada wartawan, di Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025.
Mantan Kajati Papua Barat ini menjelaskan bahwa berdasarkan temuan sementara, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, melakukan pembelian dan pembayaran untuk minyak RON 92. Namun, yang diterima justru minyak RON 90 dan RON 88.
“Fakta hukum yang sudah selesai (peristiwanya) bahwa RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga itu melakukan pembayaran terhadap pembelian minyak yang RON 92, berdasarkan price list-nya. Padahal yang datang itu adalah RON 88 atau 90,” lanjutnya.
Harli pun menjelaskan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada 2018-2023. Terlebih, kata Harli, minyak merupakan barang habis pakai yang stoknya terus diperbarui.
“Jadi maksud kita, jangan seolah-olah bahwa peristiwa itu terjadi juga sekarang. Ini kan bisa membahayakan di satu sisi ya. Fakta hukumnya ini di 2018-2023, dan ini sudah selesai. Minyak ini barang habis pakai,” terang Harli.
“Jadi kalau dikatakan stok 2023 itu nggak ada lagi, ya kan. Nah 2018-2023 ini juga ini sedang kami kaji. Apakah di 2018 terus berlangsung sampai 2023, atau misalnya sampai tahun berapa dia,” lanjut dia.
Sementara, Kejaksaan Agung (Kejagung) menggeledah rumah pengusaha minyak Riza Chalid, Selasa 25 Februari 2025. Dalam penggeledahan itu, Kejagung menyita uang senilai Rp833 juta dan dokumen yang diduga terkait dengan kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina.