Project 2025 dan Tantangan Keberlanjutan Indonesia
--
Oleh : Andi Setyo Pambudi
Mahasiswa Program Studi Doktoral Manajemen Berkelanjutan Perbanas Institute/ Perencana Pembangunan Bappenas
KEMBALINYA Donald Trump ke Gedung Putih membawa konsekuensi besar terhadap arah kebijakan global, terutama dalam isu lingkungan dan keberlanjutan.
Salah satu manifestasi nyata dari perubahan ini adalah peluncuran Project 2025, sebuah dokumen transisi pemerintahan setebal 920 halaman yang secara gamblang menggambarkan rencana untuk membalikkan tonggak sejarah dalam mitigasi perubahan iklim.
Proyek ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran di Amerika Serikat tetapi juga memengaruhi dinamika kebijakan iklim global, termasuk di Indonesia.
Dalam Project 2025, Trump secara eksplisit menargetkan penghapusan Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act atau IRA), yang sebelumnya dianggap sebagai langkah paling ambisius AS dalam memangkas polusi karbon.
Menurut Energy Innovation, pencabutan IRA diproyeksikan akan meningkatkan emisi karbon hingga 2,7 miliar metrik ton pada tahun 2030, mempercepat perubahan iklim secara global.
Di saat negara-negara lain berlomba menurunkan emisi karbon, AS justru mengundurkan diri dari peran kepemimpinan dalam aksi iklim, mengabaikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan.
Tidak hanya itu, kebijakan ekstrem lainnya dalam Project 2025 termasuk menghapus istilah “perubahan iklim” dari dokumen federal, memprivatisasi Layanan Cuaca Nasional, dan membubarkan Program Asuransi Banjir Nasional yang selama ini melindungi warga di daerah berisiko tinggi.
Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada masyarakat Amerika tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Sebagai salah satu negara berkembang yang menghadapi dampak serius dari perubahan iklim, Indonesia kini berada dalam situasi yang lebih menantang.
Pemerintah telah mengupayakan transisi ke energi terbarukan melalui regulasi ESG (Environmental, Social, Governance) dan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Namun, dengan AS yang kini menarik diri dari komitmen iklim global, Indonesia kehilangan salah satu mitra strategis dalam pendanaan dan transfer teknologi untuk proyek hijau.
Indonesia menghadapi dilema besar. Di satu sisi, negara ini memiliki komitmen untuk mencapai target nol emisi pada 2060, tetapi di sisi lain, ketergantungan pada batu bara dan energi fosil masih sangat dominan.
Tanpa dukungan internasional yang kuat, terutama dari negara besar seperti AS, percepatan transisi energi menjadi lebih sulit.