UNIOIL
Bawaslu Header

Unila dan Tim Ahli Cari Solusi Atasi Banjir di Bandarlampung

Prof. Lusmeilia Afriani Rektor Universitas LamĀ­pung-FOTO IST-

Menurutnya, Banjir adalah bagian dari siklus hidrologi yang alami. Ketika curah hujan tinggi, air yang turun akan mencari jalannya sendiri, terutama ke daerah yang secara alami merupakan dataran banjir. Namun, urbanisasi yang pesat membuat air kehilangan tempat resapannya, sehingga aliran permukaan meningkat drastis dan menyebabkan genangan.

"Alih-alih terus menyalahkan cuaca atau kondisi geografis, pendekatan yang lebih tepat adalah memahami bahwa banjir pasti terjadi, tetapi dampaknya bisa dikurangi. Hal ini telah menjadi kesepakatan dalam studi kebencanaan melalui pendekatan pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction atau DRR," Imbuhnya.

Strategi DRR dapat diterapkan melalui berbagai upaya mitigasi, seperti peningkatan kapasitas drainase, penerapan konsep kota spons (sponge city), dan optimalisasi lahan hijau sebagai daerah resapan. Sayangnya, banyak kota masih mengandalkan solusi jangka pendek, seperti pompa air dan peninggian tanggul, yang sebenarnya hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar permasalahan.

"Salah satu kesalahan terbesar dalam memahami banjir adalah menganggapnya sebagai masalah lokal semata. Padahal, kawasan yang tergenang banjir merupakan hasil dari perubahan tata guna lahan di tempat lain. Kita sering mendengar bahwa deforestasi di daerah hulu meningkatkan limpasan air ke daerah hilir, sehingga debit sungai meningkat dan memperbesar risiko banjir. Dengan prinsip yang sama, jika banjir terjadi di daerah Way Lunik, Panjang, Bandar Lampung, maka seharusnya kita dapat mengidentifikasi daerah mana saja yang berkontribusi besar dalam mengalirkan air ke sana," bebernya.

Salah satu konsep pengambilan keputusan untuk identifikasi wilayah yang dapat digunakan adalah multi criteria decision making (MDMC) melalui analisis spasial. MDMC sering digunakan untuk menilai risiko banjir, menganalisis dampak penggunaan lahan, dan menentukan alokasi lahan.

" LEx-GM (Land Use Examination Global Model) adalah model yang kami kembangkan untuk menganalisis dampak penggunaan lahan dan menentukan alokasi lahan. Model ini berfungsi untuk memetakan pola perubahan tata guna lahan, memprediksi dampaknya terhadap hidrologi, serta mengidentifikasi area mana yang memiliki kontribusi signifikan terhadap peningkatan risiko banjir," Ungkapnya.

Dengan model, pengambilan keputusan dapat lebih berbasis bukti (evidence-based decision making). Pemerintah dapat menentukan zona-zona yang perlu dilindungi, menetapkan kebijakan tata ruang yang lebih adaptif, serta mengembangkan strategi mitigasi yang lebih efektif. Selain itu, model ini juga bisa digunakan untuk mendukung konsep Nature-Based Solutions (NBS), yaitu pendekatan mitigasi banjir yang memanfaatkan ekosistem alami seperti pembuatan ruang hijau perkotaan sebagai solusi berkelanjutan.

"Teknologi saat ini memungkinkan penerapan model banjir secara lebih akurat. Dengan pesawat nirawak atau drone, kita dapat menghasilkan model topografi yang sangat detail. Selain itu, smartphone yang kita miliki juga dapat digunakan untuk menerima informasi secara real-time, menampilkan zona rawan banjir, serta berfungsi sebagai alat bantu evakuasi," tambah dia.

Pada akhirnya, banjir di perkotaan bukan hanya masalah air yang meluap. Tanpa kesadaran bahwa setiap wilayah saling berkaitan, kebijakan yang diambil akan tetap bersifat parsial dan tidak efektif serta hanya akan menjadi siklus reaktif yang tidak pernah tuntas. 

"Coba kita gali kembali memori kita dan bertanya, sejak kapan banjir di Lampung terjadi?Kita membutuhkan pendekatan yang lebih sistemik, berbasis data, dan berorientasi pada mitigasi risiko, bukan sekadar respon reaktif. Dengan memahami bahwa banjir pasti datang, kita harus memastikan bahwa dampaknya bisa dikurangi melalui perencanaan tata guna lahan yang lebih cerdas dan inovatif sehingga mitigasi banjir bukan lagi sekadar wacana, tetapi benar-benar menjadi bagian dari kebijakan tata ruang yang berkelanjutan," pungkasnya.

Terpisaah,m Direktur WALHI Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan, peristiwa banjir yang terjadi di Bandar Lampung merupakan sebuah kejadian yang terus berulang dan tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dalam penanganan banjir yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung.

Irfan Tri Musri menilai pemkot setempat cukup abai terhadap kondisi lingkungan hidup di Kota Bandar Lampung sehingga terjadi ketidakseimbangan pembangunan, tata kota, dan upaya pengelolaan lingkungan.

"Ini menjadikan Kota Bandar Lampung cukup rentan terjadi bencana ekologis yang akan terus mengancam masyarakat," ujar Irfan Tri Musri melalui keterangan tertulisnya, Minggu 19 Januari 2025.

Berdasarkan hasil peninjauan WALHI Lampung dan informasi yang dihimpun, setidaknya terdapat 17 titik banjir yang terjadi di Bandar Lampung yang tersebar di sembilan kecamatan, yaitu Bumi Waras, Telukbetung Selatan, Enggal, Sukarame, Kedamaian, Tanjung Seneng, Rajabasa, Telukbetung Utara, dan Panjang.

"Sampai dengan saat ini belum diketahui berapa kerugian yang ditimbulkan, namun tergambar jelas bahwa bencana banjir yang terjadi di 17 Januari 2025 merupakan sebuah bencana yang cukup besar mengingat di beberapa titik kenaikan air sampai setengah tembok rumah dan bahkan ada yang sampai pada atap rumah warga," ucapnya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan