Wacana Pilkada oleh DPRD Menjadi Sorotan di Lampung
--
“Pada tahap ini, bukan soal setuju atau tidak setuju, melainkan lebih pada pendalaman kajian terkait wacana ini,” jelas Khoiriyah.
Khoiriyah menambahkan bahwa usulan ini tidak terlepas dari dinamika Pilkada yang baru saja selesai, termasuk tingginya biaya politik yang menjadi beban bagi peserta Pilkada. “Biaya Pilkada sangat besar, menjadi beban baik bagi yang menang maupun yang kalah. Ini salah satu alasan munculnya wacana perubahan sistem pemilihan,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Komunikasi Politik dan Kebijakan Politik Siger Institute, Ahmad Naufal A. Caya, berpendapat bahwa ide Presiden Prabowo untuk mengubah sistem Pilkada menjadi pemilihan oleh DPRD perlu diujicobakan pada Pilkada 2029 mendatang.
“Tingkat partisipasi pemilih yang terus menurun menjadi indikator mengapa Pilkada bisa lebih baik jika dikembalikan ke DPRD,” paparnya.
Ia juga menyoroti besarnya anggaran Pilkada yang tidak sebanding dengan tingkat partisipasi pemilih yang rendah.
“Anggaran Pilkada yang begitu besar seharusnya bisa dimanfaatkan untuk program ekonomi kerakyatan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, Naufal menekankan pentingnya perhatian terhadap tingginya biaya politik dan maraknya praktik money politic. “Praktik mahar politik dan money politic sangat masif, dan jika tidak segera diantisipasi, ini akan merusak moral bangsa,” tegasnya.
Seiring dengan munculnya wacana Pilkada oleh DPRD, Naufal juga mengusulkan agar KPU dan BAWASLU diubah menjadi badan ad hoc, bukan lembaga tetap seperti saat ini.
’’KPU Pusat, KPUD provinsi, dan kabupaten/kota menyedot anggaran negara yang besar. Akan lebih bermanfaat jika anggaran tersebut dialihkan untuk program ekonomi kerakyatan yang lebih nyata,” kata Naufal.
Menurutnya, wacana perubahan ini perlu segera direalisasikan agar negara dapat menghemat anggaran, terutama pada tahun-tahun yang bukan tahun politik. (*)