Apindo Minta Penetapan UMP 2025 Tetap Mengacu PP 51/2023
PEKERJA KONVEKSI: Sejumlah pekerja menyelesaikan pembuatan kaus di gudang konveksi Sinergi Adv, Jakarta.-FOTO DOK DERRY RIDWANSYAH/JAWA POS-
JAKARTA - Penetapan upah minimum provinsi (UMP) menjadi perhatian serius Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Keputusan UMP dinilai akan memengaruhi minat investasi asing di tengah upaya pemerintahan baru mencari suntikan dana untuk melanjutkan pembangunan.
Apindo menilai formula penghitungan UMP berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan saat ini sudah cukup adil.
"Dalam menetapkan UMP, sebaiknya tetap gunakan formula PP 51, jangan berubah lagi formulanya. Sebab, kepastian hukum itu tidak hanya penting bagi dunia usaha, tetapi juga untuk pekerja dan para investor," ujar Ketua Apindo Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam.
Bob mencontohkan, investor asing yang berminat menanamkan modal di Indonesia pasti akan menghitung berapa besar biaya operasional.
Itu termasuk gaji pekerja minimal selama 5 tahun ke depan. Jika rumusan penghitungan penetapan UMP berubah setiap tahun, situasi itu bisa memicu investor asing lebih memilih berinvestasi di negara tetangga.
"Bagaimana cara menghitung labour cost selama lima tahun ke depan kalau tiap tahun ditetapkan semau-maunya," ujar Bob.
Bob menjelaskan, jika upah dinaikkan tinggi dalam situasi permintaan yang lemah saat ini, mustahil bagi perusahaan menaikkan harga jual produknya. ’’Opsinya adalah menekan margin.
Tetapi, kalau margin dikurangi terlalu besar, investor tidak akan masuk. Mereka akan menghitung potensi margin lebih besar, jika investasi di Vietnam misalnya. Jadi, ini semua harus kita pertimbangkan,’’ urainya.
Apindo, menurut Bob, sangat mendukung upaya Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat perekonomian nasional dengan prinsip ekonomi kerakyatan.
Sebagai bagian dari rakyat, Apindo sependapat bahwa buruh juga menjadi target yang perlu dinaikkan daya belinya agar ekonomi negara berputar lebih kencang.
"Dari sisi ini, kita sangat setuju bahwa harus ditingkatkan pendapatannya. Tetapi, yang sifatnya sustain. Jangan sampai sekarang naik tinggi, tetapi kemudian kehilangan pekerjaan karena perusahaannya rugi," tegas Bob.
Bob menggambarkan, jika produktivitas suatu perusahaan 5 persen, lalu upahnya naik 7 persen, selisih 2 persen berpotensi dilempar ke harga jual produk.
"Jadi, kalau kita naikkan tinggi upah buruh, lalu harga-harga ikutan naik, ujungnya tidak ada artinya," urainya.
Senada, Wakil Ketua Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menilai, penetapan UMP harus disesuaikan dengan PP 51/2023.
Aturan itu sudah mengatur formula upah berdasar kondisi perekonomian daerah maupun inflasi. Persentase dan kenaikan UMP di setiap daerah juga tidak bisa dipukul rata.
"Nggak bisa disamaratakan semua daerah di Indonesia, yang jelas semua sudah ada formulanya. Kami harap kita konsisten pada formula yang berlaku," ungkap Shinta. (jpc/c1)