Sabtu, 09 Nov 2024
Network
Beranda
Berita Utama
Ekonomi Bisnis
Lampung Raya
Politika
Olahraga
Metropolis
Lainnya
Advertorial
Edisi Khusus
Iklan Baris
Sosok
Bursa Kerja
Arsitektur
Wisata dan Kuliner
Otomotif
Teknologi
Lifestyle
Kesehatan
Hobi
Kriminal
Pendidikan
Edisi Ramadan
Network
Beranda
Lainnya
Detail Artikel
Untaian Asa
Reporter:
Tim Redaksi
|
Editor:
Tim Redaksi
|
Jumat , 09 Aug 2024 - 21:35
-Ilustrasi Freepik-
untaian asa oleh agin aulia “nduk, ini satenya sudah bapak belikan!” seru bapak begitu masuk ke dalam rumah. aku berjalan gontai menghampiri bapak. beliau ternyata sudah duduk manis di meja makan sembari mengisap sebatang rokok dengan ditemani secangkir kopi. “gimana, badannya sudah enakan?” tanya bapak. “sudah, pak, tapi kalau belum makan sate rasanya masih meriang,” ucapku sambil terkekeh. mendengar celotehku, bapak terbahak. “kamu ini ada-ada saja, ya sudah cepat dimakan, biar gak meriang lagi,” ujar bbapak. “lah, bapak cuma beli satu? bbuat iibu sama cika?” baca juga:beda yang sama “udah, mereka juga bapak belikan. itu bbapak simpan di lemari.” “oh, ya udah.” saat ini aku sedang flu. badanku panas sejak tadi malam ditambah hidung mampet dan kepala pusing membuatku tak selera untuk makan. kalau sedang meriang begini, makanan favoritku bukan lagi sambal ikan asin buatan ibu, melainkan sate ayam lengkap dengan lontong dari warung mang tejo. “ngomong-ngomong, ibu dan cika ke mana, pak? dari tadi gak kelihatan?” “sedang di tempat nenekmu sebentar, mau ambil karpet katanya. besok kan kita mau tamasya,” jawab bapak dengan sumringah. mataku berbinar seketika, “wah, bapak dapat charteran lagi?” “betul. kali ini ke pantai mutun,” ucap bapak sambil menyeruput kopi hitam pahit kesukaannya. bapakku bekerja sebagai sopir bus pariwisata. jadi, kalau ada orang yang menyewa, sudah dipastikan kursi di samping kemudi bapak disiapkan untuk tempat dudukku dengan cika. “yei! sate ayam sudah habis, arin sudah sehat!” sorakku dengan riang sambil meletakkan piring bekas makanku. “dasar! sana tidur lagi, biar besok sehat. bisa ikut tamasya.” “siap, laksanakan!” aku beranjak dari dapur meninggalkan bapak sendirian. aku sangat gembira membayangkan betapa serunya main di pantai. rasanya, aku sudah tak sabar menunggu sampai besok. sebelum tidur, kusiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk besok. dari pakaian dan beberapa perlengakapan untukku dan untuk cika. segera kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur dengan seprai bergambar boneka barbie kesukaanku. kuucap doa lalu aku pejamkan mata perlahan. aku pun terhanyut dalam mimpi tidur malamku. keesokan harinya, badanku terasa lebih baik. pusing di kepalaku sudah hilang. hanya saja masih sedikit pilek. tak apalah, hal itu tak akan menghalangiku untuk ikut tamasya. segera kulipat selimut kumal yang melindungi tubuhku dari sapaan angin yang masuk melalui lubang-lubang kecil jendela kayu yang sudah rapuh dimakan rayap. aku melihat ke sekeliling kamarku. oh, tuhan! ini bukan kamarku yang dulu. bapak? sate ayam? pantai? semua itu hanya mimpi. segera kuusap bulir air yang berlomba keluar dari mataku. aku menangis, kala menyadari mimpi kehidupanku yang lalu. saat ini pukul tiga pagi. kulangkahkan kaki menuju dapur. kulihat ibu tengah membuat kopi agar terjaga dari kantuk. “sudah bangun, nduk? tolong minyaknya dipanaskan dulu, ya!” pinta iibu. aku mengangguk dan mulai mengisi wajan besar dengan minyak. beginilah rutinitasku saat ini semenjak mendengar kabar bapak menikah lagi dua tahun lalu disusul dengan berita rumah peninggalan bapak yang ternyata sudah dijual. aku memutuskan untuk tidak kuliah dan membantu iibu berjualan aneka jajanan pasar. setiap pukul tiga pagi, aku harus bangun membantu ibu membuat kue goreng atau memasukkan jajanan, seperti dadar gulung, kue lapis, risol ke dalam plastik kecil. sama sekali tak ada rasa lelah kala melihat iibu masih terus semangat melukiskan cerita hidup. dengan menggendong cika, ibu menuntun sepeda dengan keranjang di kanan dan kirinya. keranjang itu berisi aneka makanan jajanan pasar yang akan kami jual. di belakang ibu, aku juga membawa sepeda. tugasku membawa alas untuk duduk dan bekal untuk sarapan cika. embusan angin subuh begitu menusuk tulangku. aku melihat ke arah cika yang masih terlelap digendongan ibu. aku khawatir dia kedinginan. setiap dini hari, aku dan ibu melawan rasa malas dan kantuk dan terus berjalan menyusuri jalanan gelap dan sepi menuju pasar. “bu, tadi pagi waktu aku pulang dari pasar, mbak siska, anak pak lurah, datang ke sini, lo,” ujarku membuka pembicaraan. “ha? ada apa, nduk? jangan-jangan mau kasih bedah rumah, nduk,” ucap ibu penuh harap. “bukan, bu. bukan mau kasih bedah rumah, tapi mau kasih aku kerjaan,” jawabku cepat. “kerjaan apa?” tanya ibu penasaran. “mbak siska menawari aku kerja di rumahnya untuk menyetrika pakaian, bu,” jelasku ragu. aku khawatir ibu tidak setuju. “nyetrika itu pekerjaan berat, lo, nduk. apa lagi keluarga mbak siska itu keluarga terpandang, suka ada acara keluar. bajunya juga pasti banyak.” “tidak apa-apa, bu. arin mau coba. upahnya lumayan, bu, bisa untuk tambah-tambah membeli kebutuhuan sehari-hari kita,” jelasku meyakinkan ibu sambil terus memijat kakinya. “tapi, ibu tetap tidak tega melihat kamu bekerja, nduk.” “ibu jangan khawatir. kita lihat dulu beberapa hari, ya, bu. nanti kalau tidak sanggup karena terlalu lelah, arin akan megundurkan diri ke mbak siska.” ucapku berusaha meyakinkan ibu. ibu akhirnya menyetujui pendapatku. keesokan harinya, aku berangkat bekerja ke rumah mbak siska setelah selesai membantu ibu menyiapkan dagangannya. kurajut asaku dari pekerjaan kecil ini. kupandangi tumpukan pakaian yang menggunung di atas keranjang. “wah, banyak sekali,” batinku. aku mulai pekerjaanku dari memilah pakaian. pakaian anak-anak dan dewasa aku pisah. lalu, pakaian kerja dan pakaian biasa pun aku sendirikan. menurutku, ini bagian penting karena untuk pakaian kerja tentu tidak boleh sembarangan menyetrikanya. kemudian, barulah aku balik semua pakaian agar mudah disetrika. sebelum pulang, aku sempatkan untuk merapikan kamar tempatku menyetrika. keranjang baju yang berserakan aku tumpuk menjadi satu. alas untuk menyetrika aku lipat rapi lalu aku menyapu kamar itu agar bersih. setelah semuanya beres, aku berencana berpamitan sebelum pulang. pada saat itu, si kecil nina, anak mbak siska sedang menangis kencang. aku lihat mbak siska kewalahan menangani anak cantik yang sangat aktif itu. tergerak hatiku untuk menghibur nina. aku ingat cika ketika sedang rewel sulit sekali untuk diam. namun, cika akan langsung berhenti menangis ketika melihatku asyik memainkan sesuatu sendirian. aku ambil beberapa boneka kecil milik nina. lalu, aku jajar rapi di atas sofa. aku berpura-pura menjadi ibu yang sedang menyuapi anaknya. “ayo, anak manis makan dulu, ya. wah, pintar sekali. setelah ini kita mau main apa?” ucapku pada boneka kelinci berwarna putih. seketika tangis nina langsung berhenti. aku tahu dia memperhatikanku, tetapi aku tetap melanjutkan permainanku. ternyata, nina tertarik dan mendekatiku. dia pun ikut bermain boneka bersamaku. sejak saat itu, nina menjadi dekat denganku. sudah dua tahun aku bekerja di rumah mbak siska. aku menjadi semakin akrab dengan mbak siska dan keluarganya. terkadang, mbak siska juga sering curhat padaku. aku pun sering membagikan cerita dan harapan-harapanku padanya. siapa sangka jika mbak siska dan suaminya ternyata berencana membiayai pendidikanku. katanya, aku anak yang ulet, jujur, dan pintar. sayang sekali kalau sampai tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. mendengar kabar itu, rasanya seperti mimpi. bisa melanjutkan kuliah seakan menjadi hal yang tidak akan mungkin terjadi dalam hidupku. aku peluk mbak siska kuat-kuat. aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kaesih kepadanya. melihat aku menangis, nina langsung ikut memelukku. anak itu seakan tahu jika aku akan pergi jauh. dia seperti tidak mengizinkanku pergi. mbak siska tertawa melihat tingkah anaknya. aku menatap langit-langit kamar kos dengan senyum merekah sembari menyematkan banyak rasa syukur kepada tuhan atas segala riuh masalah dalam hidupku yang akhirnya digantikan dengan sejuta kasih. semesta akhirnya memberikan izin kepadaku untuk meraih impianku menjadi dokter anak. hadirnya keluarga mbak siska dalam hidupku seakan telah tuhan siapkan di ujung penderitaanku. sekarang, aku resmi menjadi mahasiswa kedokteran di universitas gadjah mada, yogyakarta. meski bertahun-tahun hidup dalam kepedihan, tak sedikit pun dendam bersemayam dalam hatiku. di kota ini, bapakku tinggal bersama keluarga barunya. aku pun berusaha menemukan tempat tinggalnya. “ini, kamu, rin? anak bapak?” tanya bapak tidak yakin. “iya, pak. bapak apa kabar?” “bapak, seperti inilah. kamu kenapa mencari bapak?” mendengar pertanyaan bapak, aku tersenyum. “bukan, pak. aku ke kota ini tidak untuk mencari bapak. maafkan arin, pak. arin ke sini untuk kuliah di universitas gadjah mada.” raut wajah bapak tampak terkejut saat mendengar aku mengucap kata kuliah, apalagi di universitas gadjah mada. bapak tampak berusaha menajamkan pendengarannya. “waktu awal-awal cari tempat kos di sini, arin bertemu roni, anaknya pak lek darman. bapak masih ingat?” “roni? anaknya darman? oh, darman, sepupu jauh bapak. iya, bapak tahu. dia yang membantu bapak pindah ke sini dulu.” “nah, dari roni itulah arin tahu kalau bapak tinggal di sini.” bapak tampak manggut-manggut tanpa mengucap apa pun. wajah bapak terlihat sangat tua dan tubuhnya sudah ringkih. sebelum aku pamit, bapak memelukku lalu menangis sejadi-jadinya. aku tak tahu apa yang bapak tangisi. entah karena rindu atau karena penyesalan. padahal, aku tidak menceritakan bagaimana pilunya hidup yang kulalui sepeninggalnya. bagaimana pun, dia adalah bapakku. orang yang sangat aku sayangi. dia juga berjasa telah mendidikku menjadi anak yang disiplin. seketika aku ingat iibu. aku membayangkan begitu dalam luka batin yang ia rasakan. bersamanya, aku berdiri di atas kaki sendiri menerjang segala duka yang datang. untaian asa yang tak henti disematkan dalam tiap doa dan ucapan harap setiap malam sebelum tidur meninggalkan rekam jejak kehidupan seorang ibu dan anak yang bertopang hidup pada sekumpulan aneka jajanan pasar. aku menyusuri jalan setapak menuju kos. wajah bapak masih jelas tergambar dalam benakku. aku sungguh tidak menyalahkannya. aku justru berdoa yang terbaik untuknya. kenyataan hidup yang dihadapi setiap insan memang beragam, porsi suka dan dukanya telah dibagi dengan sedemikian rupa. tuhan akan selalu menerapkan sifat mahaadil-nya. sebuah cita-cita hidup yang gemilang tentu akan melewati jalan pahit yang berulang. hanya perlu menyematkan sebuah keyakinan, bahwa semuanya belum berakhir. semuanya akan baik-baik saja apabila dijalani dengan arah yang tak salah. itulah caraku memandang hidup.(*)
1
2
3
4
»
Last
Tag
# cerita pendek
# cerpen
# sastra
Share
Koran Terkait
Kembali ke koran edisi Koran Radar Lampung Edisi Minggu 11 Agustus 2024
Berita Terkini
Bandar Judi Togel di Bandarlampung Ditangkap
Metropolis
2 jam
Kasus KdRT Selebgram, Jaksa Kembalikan Berkas
Metropolis
2 jam
Pemda Diminta Gunakan Anggaran secara Efektif
Ekonomi Bisnis
2 jam
Cara Manjur untuk Berhenti Kecanduan Main HP
Lifestyle
2 jam
Kebiasaan yang Membuatmu Tampak Cerdas
Lifestyle
2 jam
Berita Terpopuler
Perjuangkan Hak Asuh Anak, Ibu Kandung di Bandar Lampung Lapor Wakil Rakyat
Metropolis
8 jam
Ketat! Resmen-Cik Raden 46,20%, Ali-Ayu 45,80%
Berita Utama
4 jam
Buah Anggur Terlarang Bagi Pengidap 8 Jenis Penyakit Ini
Kesehatan
14 jam
Komisi VII DPR Bentuk Panja Selesaikan Sritex
Ekonomi Bisnis
7 jam
Pemkab Mesuji Tunggu Peraturan Kemnaker Bahas UMK 2025
Lampung Raya
9 jam
Berita Pilihan
Presiden Prabowo Resmi Teken PP Hapus Utang Macet Petani, Nelayan dan UMKM
Ekonomi Bisnis
2 hari
Jadwal Liga Champions Malam Ini 6-7 November 2024, Ada Real Madrid vs AC Milan dan Inter vs Arsenal
Olahraga
3 hari
Perebutan Gelar Juara Dunia MotoGP 2024 Ditentukan Hingga Race Terakhir
Olahraga
4 hari
Prediksi Real Madrid vs AC Milan, Rabu 6 November 2024: Pembuktian Vinicius
Olahraga
4 hari
Didominasi Pemain Liga 1, Indonesia Akan Bawa Timnas U-22 Tampil Piala AFF 2024
Olahraga
5 hari