Padahal, ambang batas jelas memiliki dampak terhadap konversi suara sah menjadi kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu.
Di sisi lain, sistem yang berlaku saat ini juga telah mengakibatkan besarnya suara terbuang sia-sia. Misalnya, pada Pemilu 2004 terbuang 19.047.481 suara dan 2019 terbuang 13.595.842 suara.
Fakta itu, lanjut Saldi, memperlihatkan adanya disproporsionalitas hasil pemilu terhadap kursi DPR. Padahal, sesuai putusan MK Nomor 3/PUU-VII/2009, pembentuk UU wajib menentukan ambang batas yang tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.
MK menyatakan, ketentuan Pasal 414 ayat (1) UU No 7/2017 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Untuk itu, MK memerintahkan DPR dan pemerintah untuk melakukan perubahan yang dapat digunakan pada Pemilu 2029.
Sementara di Pemilu 2024, MK membolehkan penggunaan ketentuan yang ada sebagai bentuk kepastian hukum mengingat tahapannya telah berjalan.
Dalam merumuskan ambang batas terbaru, MK memberikan sejumlah rambu. Antara lain, desain baru harus bisa digunakan secara keberlanjutan, harus meminimalkan banyaknya suara sia-sia, perubahan ditempatkan dalam rangka menyederhanakan sistem partai, dan diselesaikan sebelum tahapan Pemilu 2029 berjalan.
”Perubahan harus melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum,” tegas Saldi.
Peneliti Perludem Muhammad Ihsan Maulana mengapresiasi putusan MK. Baginya, putusan itu bisa menjadi dasar untuk memperbaiki sistem pemilu ke depan, khususnya terkait konversi suara.
Diakuinya, pemilu Indonesia masih banyak masalah dan perlu perbaikan.
”Perlu ada evaluasi lanjutan dalam konteks tata kelola pemilu agar penyelenggaraannya lebih demokratis,” ujarnya.
Perludem juga berharap, putusan MK benar-benar dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang. Jangan sampai putusan diabaikan untuk mengamankan kepentingan tertentu.
”DPR dan pemerintah harus mengikuti rambu-rambu yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi,” tegasnya.
Anggota Komisi II dari Fraksi PAN Guspardi Gaus mengtakan, pihaknya menghormati putusan MK terkait ambang batas parlemen. Menurut dia, putusan MK adalah final dan mengikat sehingga harus diikuti.
Namun, pihaknya belum mengetahui secara pasti isi amar putusan MK.
Pihaknya akan mengkaji terlebih dahulu putusan tersebut.
Apakah putusan itu hanya menghapus angka 4 persen ambang batas parlemen yang selama ini berlaku atau menghapus ambang batas parlemen itu sendiri. ”Itu yang akan kami kaji,” tuturnya.