JAKARTA – Komisioner KPU RI August Mellaz menyatakan Pemilu 2029 akan menghadapi spektrum tantangan baru, mulai dari dominasi pemilih muda hingga meningkatnya risiko manipulasi informasi berbasis kecerdasan buatan (AI).
Hal itu disampaikannya saat menyoroti perkembangan demokrasi elektoral Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Mellaz mengungkapkan bahwa komposisi pemilih pada Pemilu 2024 didominasi oleh kelompok Gen Z dan milenial yang mencapai 58 persen. Ia memprediksi pada Pemilu 2029, proporsi tersebut dapat melonjak hingga 60–70 persen dari total pemilih. “Generasi ini tidak lagi terikat pada pendekatan sosialisasi konvensional. Mereka sangat akrab dengan teknologi dan memiliki pola konsumsi informasi yang berbeda,” kata Mellaz kepada wartawan di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Selasa (9/12). BACA JUGA:Pelaku Perampasan Handphone di Pantai Ketang Lampung Selatan Digulung Polisi Menurutnya, perubahan demografis tersebut menuntut KPU, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk memperbarui strategi pendidikan pemilih agar sesuai dengan karakter generasi digital. Mellaz juga menyoroti perkembangan pesat teknologi AI yang kini menjadi ancaman nyata bagi integritas pemilu di berbagai negara. Ia mencontohkan kasus di sejumlah negara Eropa, termasuk Slovenia, di mana deepfake yang menyerupai kandidat politik digunakan untuk mempengaruhi persepsi publik. Ia menyebut Indonesia pun pernah mengalami insiden serangan AI yang menyasar salah satu pejabat negara. “Tahun 2025–2026 diprediksi menjadi masa puncak tantangan AI. Indonesia harus bersiap menghadapi potensi gangguan stabilitas demokrasi melalui manipulasi kecerdasan buatan,” ujarnya. BACA JUGA:Ukur Debit Air Sungai Antisipasi Bencana Ancaman tersebut, lanjut Mellaz, tidak hanya berkaitan dengan penyebaran disinformasi, tetapi juga berpotensi memicu instabilitas politik jika tidak diantisipasi dengan regulasi dan pengawasan terpadu. Selain faktor eksternal, Mellaz menegaskan bahwa KPU juga menghadapi tantangan internal yang perlu segera dibenahi untuk persiapan Pemilu dan Pilkada 2029. “KPU perlu terus memperbaiki teknokrasi, regulasi, SOP, hingga tata kelola logistik. Ini pekerjaan harian yang tidak bisa ditunda,” katanya. Ia menekankan bahwa pengalaman penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024 harus menjadi basis evaluasi komprehensif agar berbagai tantangan, baik dari sisi teknologi, demografi, maupun teknis penyelenggaraan, dapat ditangani dengan kesiapan maksimal. “Ke depan, peta jalan teknokrasi pemilu harus makin kuat. Tanpa itu, kita akan tertinggal menghadapi realitas baru demokrasi digital,” tuturnya. Diketahui Anggota Bawaslu Lolly Suhenty menyoroti perlunya penguatan regulasi dan kolaborasi lintas pihak untuk memperkuat pengawasan pemilu berbasis kecerdasan buatan (AI) menjelang Pemilu 2029. Ia menyebut, perkembangan teknologi bergerak jauh lebih cepat dibanding kerangka aturan. Dengan demikian, pengawas pemilu harus menyesuaikan diri. “Perubahan yang pesat menuntut pengawas pemilu memiliki sistem dan kapasitas yang lebih adaptif, jadi tidak bisa melakukan pengawasan manual saat situasi sudah sangat digital,” ucap Lolly saat memaparkan materi dalam Diskusi Media Kepemiluan bertajuk Antisipasi Perkembangan AI dan Model Pengawasan Digital di Pemilu di Media Center Bawaslu, Jumat, (14/11/2025). Ia menambahkan, kolaborasi dengan platform media sosial, pemerintah, dan masyarakat sipil menjadi langkah penting untuk menekan penyebaran disinformasi dan mempermudah tugas pengawasan. Ia juga berharap Bawaslu bisa memperkuat perannya sebagai jembatan penghubung multipihak dari kolaborasi tersebut. “Kolaborasi lintas pihak ini memudahkan satu sama lain, tentunya kinerja Bawaslu tidak akan terseok-seok karena tidak berkerja sendirian,” ujarnya. Lolly melanjutkan ancaman deepfake menjadi tantangan baru yang harus diantisipasi sejak awal karena manipulasi wajah, gambar, dan suara kini semakin mudah dilakukan. Ia menyebut teknologi AI dapat menjadi alat mitigasi sekaligus sumber risiko jika tidak dikelola dengan benar. ”Secanggih apa pun niat pengawasan jika tidak diimbangi dengan kecakapan akan menjadikan AI sebagai ladang jebakan,” tuturnya. Merespons perkembangan digital itu, Bawaslu menyiapkan upaya peningkatan kapasitas internal dan merumuskan model pengawasan digital berbasis AI yang akan dikembangkan. Bawaslu juga punya program untuk menggandeng siapa pun yang memiliki kemampuan teknologi untuk ikut memikirkan proyeksi ideal terkait pemilu ke depan. “Model pengawasan digital idealnya kokoh dari segi keamanan tetapi tetap ramah untuk digunakan jajaran pengawas pemilu,” ujarnya. Lolly menyatakan, pengawasan digital berbasiskan AI mungkin untuk dilakukan. Ia mencontohkan AI bisa digunakan untuk pemetaan potensi informasi menyimpang dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). ”Peran AI dalam pengawasan digital menjadikan IKP punya sistem peringatan dini, jadi sangat mungkin pengawasan digital ke depan mulai berbasis AI,” pungkasnya. Senada dengan Lolly, Anggota KPU August Mellaz berpendapat, dinamika masyarakat bergerak lebih cepat dibanding birokrasi dan hukum yang ada. Hal tersebut menjadikan perkembangan teknologi dan AI membawa tantangan baru yang belum terjangkau regulasi saat ini. “Dalam tingkatan deepfake, pada level tertentu publik bisa saja meyakini hal itu benar, ke depan semoga ada momentum untuk mengakomodir kebutuhan regulasi baru,” ucapnya. Menanggapi Lolly dan Auguzt, Direktur Mafindo Septiaji Eko menjelaskan, salah satu cara mendeteksi deepfake adalah melalui teknologi watermarking pada konten yang dihasilkan AI generatif. Ia menekankan teknologi tersebut penting untuk memastikan keaslian konten dan melacak sumber pembuatannya guna mencegah penyebaran misinformasi. “Watermarking memungkinkan kita membuktikan bahwa sebuah konten dibuat oleh AI, sehingga publik tidak mudah terkecoh oleh manipulasi digital yang beredar,” ujarnya. (jpnn/bwl/abd)
Kategori :