JAKARTA - Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai hasil survei tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengambil keputusan pada Pemilu 2024. Hal itu dikarenakan hasil survei yang dikeluarkan lembaga survei kerap berbeda di luar batas margin of error.
Padahal, menurut Emrus, seharusnya perbedaan hasil tidak akan menjadi masalah jika masih berada dalam batas margin of error.
’’Saya melihat hasil survei di Indonesia tidak boleh menjadi acuan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mengambil keputusan. Buktinya ada berbeda,” tegas Emrus, Kamis (28/12).
Dia pun meminta publik berhati-hati dengan opini yang bisa terbentuk dari hasil survei. Supaya kita tidak digiring,” ungkap Emrus.
BACA JUGA:KPU Lambar Gelar Simulasi Pemungutan Suara dan Tungsura
Emrus meminta publik untuk bersikap kritis terhadap hasil survei elektabilitas pasangan calon.
“Pubik harus pertanyakan hasil survei. Jangan langsung terima hasil survei. Bongkar sumber pendanaan, bongkar metodologinya, termasuk kuesionernya,” ujar Emrus.
Emrus menambahkan metodologi survei yang digunakan lembaga survei pun perlu didiskusikan lebih lanjut.
Selain metodologi, pertanyaan survei pun berbunyi jika pemilu dilakukan hari ini.
“Itu kan pada saat kalau andaikan pemilu hari ini. Artinya sangat dinamis,” ujarnya.
BACA JUGA:Waspada, Jangan Sampai Terbuai Janji Manis Politisi Jelang Pemilu
Komunikolog itu juga menyebut beberapa contoh pilkada yang justru dimenangkan oleh paslon dengan elektabilitas rendah dan tidak diunggulkan.
“Coba cek beberapa pilkada yang justru dimenangkan kandidat dengan elektabilitas rendah,” katanya.
Sebelumnya, dua lembaga survei kenamaan, CSIS dan Indikator Politik mengeluarkan hasil survei elektabilitas Pasangan Calon (Paslon) Presiden dan Wakil Presiden.
Hasil survei CSIS menyebutkan paslon Prabowo-Gibranunggul 43,7 persen, Anies-Muhaimin 26,1 persen, dan Ganjar-Mahfud 19,4 persen (Survei 13 - 18 Desember 2023).