“Karena posisi bank lebih dominan, pemerintah bisa menghadapi tantangan legal yang tidak sederhana,” jelas Wijayanto.
Selain itu, penyitaan aset dikhawatirkan menimbulkan gelombang kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini berpotensi merusak persepsi investor terhadap iklim usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Wijayanto menegaskan bahwa penagihan tidak boleh dilakukan dengan pendekatan one size fits all. Kebijakan harus memperhatikan kondisi spesifik tiap wajib pajak agar tidak menimbulkan dampak negatif lebih besar.
Meski demikian, ia menekankan pelaksanaan kebijakan tetap harus adil dan tidak tebang pilih agar kredibilitas pemerintah tetap terjaga.
Di sisi lain, pemerintah mencatat setoran pajak dari usaha ekonomi digital mencapai Rp8,77 triliun sepanjang Januari hingga Agustus 2025.
“Pajak digital kian menegaskan perannya sebagai penggerak utama penerimaan negara di era digital ini,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Rosmauli dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (26/9).
Secara rinci, penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPN) perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) alias belanja online (e-commerce) tercatat sebesar Rp6,51 triliun, pajak atas aset kripto Rp522,82 miliar, pajak fintech (P2P lending) Rp952,55 miliar, dan pajak Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) Rp786,3 miliar.
Untuk PPN PMSE, total setoran sejak 2020 hingga 2025 mencapai Rp31,85 triliun. Setoran tersebut diserahkan oleh 201 PMSE dari 236 PMSE yang telah ditunjuk.