Panda Kecil

Jumat 22 Dec 2023 - 20:31 WIB
Reporter : Rizky Panchanov
Editor : Rizky Panchanov

Lea merasa seperti mempunyai ikatan erat dengan Ethan. Ethan orang yang mudah ditebak dan lumayan ekspresif. Lea selalu tahu perubahan mood dan perilaku Ethan.

"Gue ke kelas duluan." Hampa, tidak seperti Ethan biasanya. 

"Jangan bersikap seolah-olah kita udah kenal lama, Le. Lo orang baru di hidup gue. Jangan ikut campur." Ethan mendadak dingin. Aura mencekam seolah-olah menguar dari tubuhnya. Wajah Ethan tampak kalut sambil menatapnya dengan nyalang.

"Live for the applause? Huh, stupid." Lea tertawa miring. "Kenapa? Nilai lo kecil? Muka lo jerawatan? Atau karena bokap lo yang mau pensiun? Semua kemungkinan bisa muncul karena sikap lo yang selalu ngarep validasi orang." Mungkin akan ada perang besar untuk pertama kalinya dalam pertemanan mereka. Ethan lalu berbalik. Tiga garis lurus tampak di dahinya. Tanda bahwa sang pemuda tidak mengerti maksud dari si gadis.

"Well, oke. Kita memang belum kenal lama. Tapi gue tahu semua kebiasaan buruk lo yang selalu haus akan pujian." Lea berdecap. "Jangan pancing gue untuk bertindak tegas, Le. Gue gak main-main." 

"Oh, lo pikir gue main-main?" Lea seperti bensin yang memancing kobaran lebih besar. Bola mata Ethan memerah dan urat lehernya menyembul keluar. Tatapannya menukik tajam ke arah Lea yang disambut dengan hal serupa. Sengit. Sengit sekali. Api dengan api. Mereka seperti tidak bisa mengenali satu sama lain. 

"Gue capek, Le." Tanpa diduga-duga. Tangis Ethan pecah. Bulir air matanya menyentuh ujung sepatu Lea. Lea hanya bisa mematung, tangannya luruh lemas. Badannya kaku, bingung ingin bereaksi seperti apa. Sedangkan Ethan masih saja menunduk, melampiaskan segala emosi yang selama ini ia pendam. Lea lalu mendekat lalu memegang bahu rapuh itu. Ia memeluk dan mengusap dengan lembut punggung ringkih tersebut.

Ethan lalu melonggarkan pelukan, "Maaf." Kata yang terbilang singkat, tetapi sukar untuk diucapkan kala bibirnya ikut bergetar menahan tangis. Lea lalu menangkup rahang Ethan, "Udah cukup, ya. Jangan berharap sama orang lain lagi. Lo berhak bahagia dengan cara lo sendiri." Yang Lea katakan benar. Ethan bukanlah badut yang bertugas menghibur mereka dengan segala kekonyolannya. Ethan hanyalah manusia biasa. 

Lea lalu menggulung lengan jaket milik Ethan yang selalu bisa ia kenali. Di situ terpampang nyata bukti perjuangan Ethan untuk hidup dan menggerus kewarasan selama ini. Ethan lalu membolakan matanya terkejut, "Le..." Lea mengelus lengan dengan garis cembung itu menatapnya nanar. Entah sudah berapa banyak air mata yang tumpah sudah berapa banyak darah yang terbuang hingga sudah berapa banyak teriakan lelah dari ranum Ethan. 

Lea selama ini sudah tahu dan selalu mengamati gerak-gerik Ethan. Ia hanya menunggu kapan kira-kira Ethan mau berkeluh kesah kepadanya. Hari inilah puncaknya. Puncak dari letihnya mereka. Menahan semua perih di hati lalu akhirnya memuntahkan segala pedih yang dirasa. "Jangan nyakitin diri lo lagi, Than. Masalah lo masalah gue juga. Jadi tolong, cerita ke gue aja dan jangan lampiasin ke diri lo." Lea memohon dengan sangat, menatap Ethan penuh harap. Berusaha meyakinkan bahwa ia akan selalu ada di sisinya.

 

~~~~~~

 

Di sinilah mereka. Duduk di rooftop sekolah sambil duduk memandang langit sore. Mereka sudah berdamai dengan persoalan tadi. Semua harus bisa melupakan masa lalu dan menatap masa depan yang menanti. Ethan akan berusaha mengubah pola pikirnya yang konyol. Berharap pada orang lain adalah seni sempurna untuk sakit hati. 

Berkat Lea, ia tahu bagaimana caranya menyelesaikan masalah tanpa harus pusing memikirkannya. Seharusnya memang ia bisa bersikap tegas. Ini adalah jalan hidupnya. Seseorang tidak bisa memerintah seenaknya bagai boneka. Ethan selama ini selalu memikirkan pendapat orang lain tentang dirinya. Bagaimana ia bersikap dan berperilaku, berpenampilan, dan cara berbicara. Ia terlalu ingin dipuja orang lain sampai harus menjatuhkan diri sendiri ke dalam rasa sakit. Dari Lea ia belajar, bahwa terkadang, orang lain hanyalah memanfaatkan kita untuk kesenangan mereka pribadi. Ethan adalah pribadi yang tidak bisa menolak permintaan orang lain, sekalipun itu merugikan dirinya. Tak cukup selama ini Lea menyumpah serapahinya, tetapi tidak mempan untuk otak bebal seperti Ethan. Ethan akhirnya sadar, bahwa dirinya benar-benar berarti. Ia tidak boleh menyerah hanya karena gagal sekali dalam segala upayanya. Karena Lea lah ia tahu bahwa masih ada yang menyayanginya. Karena Lea lah ia tahu bahwa ia tidak hidup sia-sia. Karena Lea lah ia tahu pentingnya kita peduli terhadap diri sendiri. Karena Lea lah ia tahu bahwa ada makhluk Tuhan yang seindah ini. 

"Le." Ethan memanggil Lea yang sedang asyik menatap ke depan. Senyuman Lea ialah sebaik-baiknya pemandangan yang pernah ia lihat. Bagai pahatan yang digurat sempurna. Cahaya oranye hasil dari matahari yang mulai terbenam pun ia hiraukan, ada presensi lain yang lebih menarik ia pandangi. Raga yang mampu membuat ia menggeleng takjub. Angin lembut mencumbu pipi halus Lea. Oh Tuhan, hambamu tak kuasa menahan iri. Ethan menggigit bibirnya, gugup tak terkendali. "What's your type?" Ethan merutuki pertanyaannya yang bodoh. 

Kategori :

Terkait

Jumat 09 Aug 2024 - 21:35 WIB

Untaian Asa

Jumat 02 Aug 2024 - 21:40 WIB

One of the Standards of Beauty

Jumat 26 Jul 2024 - 22:34 WIB

Beda yang Sama

Jumat 19 Jul 2024 - 22:15 WIB

Irreplaceable

Jumat 12 Jul 2024 - 22:20 WIB

Manusia Pilihan