Shalwa Permata Tridanty - SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung
"Lea!"
Ethan namanya. Lelaki dengan jaket yang selalu menempel di badan. Ia bukan sembarang orang. Siswa dengan prestasi terbaik? Anak petinggi sekolah? Punya visual yang tampan? Iya, dia lebih dari kata sempurna. Entahlah, Lea juga heran. Kenapa anak ini ingin sekali berteman dengannya dan selalu mengikutinya seperti anak kecil. Padahal, Lea selalu bersikap acuh tak acuh padanya. "Iya, kenapa?" Singkatnya. "Lo kalo mau berisik mending sana deh. Gue lagi butuh ketenangan, Than," seru Lea dengan mata kucingnya.
Ethan berani sumpah, Lea saat sedang mode senggol bacok seperti ini benar-benar menyebalkan. Ia seperti tumbuhan pemakan daging yang ganas dan Ethan hanyalah serangga tak berdaya yang bisa dimangsanya. Wajah konyol, tapi menakutkan Lea benar-benar sangat khas. Mata yang menatap sinis dan mulut yang berucap pedas. Ia rasa dari mata itu akan memancarkan energi listrik bertenaga tinggi lalu menyerang wajahnya. Lucu, tapi terkadang cukup mengintimidasi.
BACA JUGA:DFSK Buka Peluang Dua Sales Bidang Otomotif
"Lo begadang lagi?" Lea mendadak berhenti. Ethan menahan napasnya sejenak. Pasalnya, Lea bertanya sambil mengelus wajahnya, lalu memperhatikan matanya yang memang terdapat lingkaran hitam di sana. Sejenak Ethan terbuai. Usapan halus itu cukup membuatnya tenang. Jantungnya berdetak tak karuan. Lea memang manusia yang sulit ditebak.
Lea lalu mengembuskan napas dengan panjang lalu menatap Ethan. "Kenapa sih? Terus terang, Le." Mungkin ia akan menyesal nantinya. Bisakah bersikap normal untuk sebentar saja? Lea hanya bertanya dan kenapa reaksi dari tubuhnya sangatlah berlebihan? Ethan mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
"Gak jadi." Lea meninggalkan Ethan yang diam di tempat. Dasar manusia tidak jelas. Lea adalah salah satu manusia yang lahir dengan watak aneh bin ajaib. Ethan harus ekstra sabar menghadapinya, memang tabiat seorang wanita.
"Iya deh iya. Gue belajar. Apa lagi memangnya?" Ethan berucap dengan santai sambil memasukkan tangannya dalam saku celana. Semilir angin pagi membelai rambut hitamnya dengan lembut. "Belajar mulu, entar tipes lu," canda Lea sambil tertawa kecil. Ethan hanya menanggapinya sambil tersenyum satir. "I live for the applause," singkat Ethan. Raut wajahnya menjadi muram dan manik gelapnya terlihat rapuh.
BACA JUGA: Tua Pasti, Dewasa Pilihan
Lea memutar bola matanya dengan malas. Ethan adalah manusia paling membosankan yang pernah ia kenal. Hidupnya hanya seputar bagaimana menyelesaikan akar masalah dari 2x+3y-8z=12 atau membahas mengapa Jepang menjajah Indonesia. Benang takdir memang tidak bisa diputus. Lea masih belum menemukan titik terang kenapa mereka bisa dekat dalam waktu singkat. Padahal mereka seperti langit dan bumi. Bagai kutub selatan dan utara. Hobi, gaya hidup, dan kebiasaan mereka sangatlah berbeda.
"Lo gak perlu segininya. Nilai lo udah lebih dari cukup."
"Belum. Gue harus tetap jadi yang pertama, apa pun caranya." Perfeksionis tiada tanding. Julukan yang selalu ia sematkan pada sahabatnya ini. Bukan tanpa alasan Lea memberi peringatan kepada Ethan. Dengan mata kepalanya sendiri, Lea pernah melihat darah segar terjun bebas dari hidung Ethan. Ethan mimisan dan langsung rubuh seketika saat upacara karena lagi-lagi melewatkan jam sarapannya karena harus revisi tugas praktik biologi. Kalian kira ini sudah cukup? Ethan pernah dengan sadar membenturkan kepalanya ke tembok hanya karena nilai ujiannya mentok di angka 95. Oh, mungkin bagi Ethan itu bukan sekadar hanya, tetapi Lea rasa Ethan sudah terlampau keras dengan dirinya sendiri. Lea tidak tahu tuntutan apa yang harus Ethan lalui sampai harus mengorbankan kesehatannya sendiri. Ethan bagai lahan padang luas yang menyimpan banyak rahasia. Lea tidak bisa menemukan petunjuk lain selain hamparan rumput yang tak berarti.
"Gausah dengerin omongan orang lain, Than. Percaya sama diri sendiri." Deru napas Lea mendominasi. Ethan berdecap, bahkan langit pun seperti mengejeknya. Membuat cuaca yang suram seakan menertawakan kebodohan dirinya sendiri.
Netra jelaga miliknya menatap kosong. Cahaya yang selama ini berbinar di matanya seketika redup dan perlahan menghilang. Ethan berusaha menutupi rasa sakitnya dengan senyum pahit. Tentu saja Lea menyadari kejanggalan itu. Iris mata Ethan menatapnya dengan ambigu. "Mau cerita?" Ethan lalu menengok tatkala suara madu itu menyapa pendengarannya. Lea tersenyum manis, walau mata tidak bisa berbohong. Lea khawatir.