BANDARLAMPUNG - Pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) dinilai berisiko menghambat pembangunan daerah. Banyak daerah yang masih bergantung pada transfer pusat terpaksa mencari tambahan pendapatan melalui kenaikan pajak dan retribusi.
Sebagai informasi, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN) 2026, anggaran transfer pusat ke daerah atau TKD ditetapkan Rp650 triliun. Angka ini turun 24,8% dari outlook anggaran 2025 sebesar Rp864,1 triliun.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat-Universitas Indonesia (LPEM-UI), Teuku Riefky, menyoroti potensi dampak pemangkasan dana TKD terhadap perekonomian dan pembangunan di tingkat daerah.
Menurut Riefky, pemangkasan TKD akan berdampak signifikan bagi perekonomian daerah, terutama bagi sebagian besar daerah yang pendapatan utamanya masih mengandalkan transfer dari pemerintah pusat.
"Saya rasa ada risiko pembangunan daerah terhambat karena pembangunan daerah tidak di-handle oleh pusat," ujar Riefky.
Riefky menilai, dampak paling nyata dari pemangkasan TKD yakni potensi terhambatnya pembangunan fasilitas publik seperti renovasi sekolah dan rumah sakit. Kualitas layanan publik juga berpotensi menurun karena tunjangan pegawai daerah yang alokasinya dari dana alokasi umum (DAU) dalam komponen TKD berpotensi dikurangi.
Akibatnya, banyak pemerintah daerah terpaksa mengerek pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD). Kondisi ini sudah terjadi di sejumlah daerah, seperti Pati, Bone, dan Cirebon.
"Situasinya saat ini adalah daerah mencari sebisa mungkin berbagai pundi-pundi pendapatan yang bisa dioptimalkan dengan adanya pemangkasan dari pusat," ujar Riefky.