GUNUNGSUGIH - Upaya Dinas Kesehatan (Diskes) Lampung Tengah (Lamteng) mengungkap kasus tuberkulosis (TBC) terus dilakukan.
Petugas kesehatan dan kader desa bergerak dari pintu ke pintu, menanyakan batuk yang tak kunjung reda, membagikan wadah plastik untuk menampung dahak, lalu kembali beberapa hari kemudian untuk mengambil sampel.
Mereka juga memberdayakan kader Inisiatif Lampung Sehat (ILS), yang merupakan petugas kesehatan yang berperan dalam penanggulangan TBC di tingkat komunitas.
Operasi ini menyasar semua kasus indeks—pasien TB baru yang terdiagnosis—untuk dilakukan investigasi kontak (IK).
Tujuannya: menemukan pasien baru dan memutus rantai penularan. Tahun ini, dari target 797 kasus indeks, baru 581 yang berhasil diinvestigasi.
“Semua kasus indeks wajib diinvestigasi, tapi di lapangan tidak sesederhana di atas kertas,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan Lampung Tengah dr. Lidia Dewi, Selasa, 12 Agustus 2025.
Kesulitan paling sering muncul pada tahap pengambilan sampel. Semisal, dari 40 wadah dahak yang dibagikan, kadang hanya 10 yang kembali.
“Sisanya? Ada yang lupa, ada yang enggan, ada yang malu,” ujar Lidia.
Stigma penyakit ini masih tebal. Di sejumlah desa, TB dianggap aib. Banyak warga belum menyadari batuk lebih dari dua minggu adalah tanda infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang bisa disembuhkan.
Sejatinya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Tengah telah membahas Rencana Aksi Daerah (RAD) TBC melibatkan Diskes dan Bappeda, mengacu pada Peraturan Gubernur Lampung Nomor 12 Tahun 2025. Dokumen tersebut ditargetkan rampung tahun ini, yang diharap menjadi panduan teknis penguatan layanan TB hingga tingkat desa.
Sebelumnya, pada 2023, program Kampung Bebas TB diluncurkan. Skrining aktif dilakukan, namun kekurangan alat membuat 4.000 sampel dahak menumpuk. Sebagian bahkan harus dikirim ke kabupaten lain untuk diperiksa.
Kabar baiknya, tahun ini, Kabupaten Lampung Tengah menerima bantuan pusat berupa 11 ribu Cartridge GeneXpert dari total kebutuhan 22 ribu unit.
Cartridge adalah wadah sekali pakai untuk mendeteksi bakteri TB dan resistensinya terhadap rifampisin. Nilai pagunya hampir Rp2 miliar.
Kekurangannya ditutup dengan metode pemeriksaan mikroskop Bakteri Tahan Asam (BTA), di mana dahak diwarnai khusus lalu diperiksa untuk mendeteksi keberadaan bakteri.
Kedepannya, Diskes berencana menggelar skrining aktif di sejumlah lokasi keramaian menggunakan alat rontgen portable yang rencananya bakal dibeli tahun ini.
Namun, alat itu saja belum cukup. Melainkan masih dibutuhkan pelindung timbal untuk meredam radiasi.
"Untuk sementara, pelindung untuk meredam radiasi akan dipinjam dari rumah sakit," ungkapnya.
Lidia melanjutkan, skrining juga dilakukan pada kelompok rentan: warga miskin, lansia, penyandang HIV, serta penderita diabetes yang kekebalannya menurun.
Strategi jemput bola dijalankan kader layanan primer bersama Kader ILS. Mereka menyisir kampung, mengajak warga memeriksakan diri, dan memantau pengobatan.
Bicara terkait stok obat TB, untuk Lampung Tengah saat ini diklaim masih aman. Namun temuan kasus baru dan penyelesaian pemeriksaan masih menjadi tantangan besar.
Di atas kertas, strategi penanggulangan TB telah lengkap: investigasi kontak, skrining aktif, kampung bebas TB, penguatan kader desa, hingga rontgen keliling.
Di lapangan, stigma, akses layanan, dan keterbatasan alat membuat target penemuan kasus masih tertinggal.(*)