Keluar Rp150 Juta per Tahun
JAKARTA - Praktik pungutan liar (pungli) dan truk over dimension over loading (ODOL) di Indonesia bukan sekadar masalah teknis transportasi. Tetapi sudah menjadi penyakit kronis yang menyandera sistem logistik nasional.
Alih-alih berkurang, pungli masih merajalela. Mulai jalan tol, bahu jalan, rest area, hingga masuk jalur-jalur distribusi menuju pasar dan gudang. Semua pihak dirugikan: sopir, pengusaha, bahkan pemilik barang.
Dalam diskusi yang digelar bersama Asosiasi Pengemudi Angkutan Barang di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan pekan lalu, para sopir mengungkap kenyataan pahit di balik kemudi.
Dari Tol Cikampek hingga Kramat Jati, mereka dipalak oknum preman hingga Rp200 ribu sekali jalan. Jika nekat berhenti di bahu jalan untuk istirahat, bukan keamanan yang datang, melainkan pungli dari oknum petugas tol.
Bahkan, kata mereka, masalah ini sudah pernah dilaporkan ke direksi, namun hingga kini tak kunjung dibereskan.
Cerita kelam tak berhenti di situ. Di sekitar kawasan pelabuhan Tanjung Priok, misalnya, pengusaha truk mengungkap adanya ’’kampung pungli’’ di jalur menuju gudang.
Truk yang hendak melewati portal harus membayar ’’uang stempel’’ Rp100 ribu kepada oknum yang mengatasnamakan RT setempat.
Salah satu pengemudi menuturkan, saat mengangkut sayuran dari Garut ke Pasar Kramat Jati, Jakarta, ia harus menyisihkan dana sekitar Rp175 ribu untuk melintasi 5 sampai 6 titik pungli.