LAMPUNG – Petani singkong di Lampung terus mengalami tekanan harga yang menyebabkan mereka mengalami kerugian. Harga bersih per 1 kilogram yang mereka terima kini di bawah Rp500.
Surat edaran Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal yang menetapkan harga singkong Rp1.350 per kg dengan rafaksi 30 persen ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Masih banjirnya impor tapioka menjadi alasan utama tidak patuhnya pemilik pabrik terhadap surat edaran gubernur tersebut. Kondisi ini diperparah permainan sebagian besar oknum lapak dan pabrik yang justru memanfaatkan situasi tersebut.
Demikian rangkuman hasil investigasi Radar Lampung Media Group terkait masih anjloknya harga singkong di Lampung dalam beberapa bulan terakhir ini.
Sejumlah pabrik singkong memang ada yang seolah-olah patuh terhadap surat edaran gubernur. Memang ada yang membeli dengan harga Rp1.350 per 1 kg. Namun, rafaksi terendah hanya 35.
Kalaupun ada dengan rafaksi 30 persen, jumlahnya bisa dihitung dengan jari, karena pabrik beralasan kadar aci singkong tidak memenuhi standar. Minim sekali. Bahkan ada yang menetapkan standar rafaksi hingga di atas 40 persen.
BACA JUGA: Yayasan Al Kautsar Bekali 225 Guru Keterampilan Konseling
Masalahnya adalah pabrik membatasi pembelian per harinya dengan berbagai alasan, mulai 150–250 ton per hari. Di antaranya ketidakmampuan gudang penampung dan terbatasnya produksi tepung.
Sehingga terjadi banyak antrean truk di pabrik-pabrik. Dan petani mesti menunggu hingga dua hari sampai singkongnya dibeli pabrik.
Jika kondisi menunggu ini terjadi, maka petani singkong mengalami dua kerugian. Pertama, meningkatnya biaya jasa sopir angkutan. Dan kedua, terjadinya penyusutan berat dan kualitas singkong.
Keadaan itu tentu saja tidak menguntungkan bagi petani. Sehingga petani lebih memilih menjual ke lapak-lapak yang ada.
Menjual ke lapak-lapak tentu dengan harga yang jauh lebih murah. Bahkan hanya dihargai maksimal Rp1.050 dengan rafaksi rata-rata hanya 33–35 persen.
Ironisnya, berdasarkan hasil investigasi Radar Lampung Media Group, pelapak itu juga bekerja sama dengan pabrikan. Bahkan di antaranya orang-orang pabrik itu sendiri yang membuat lapak demi memperoleh singkong dalam jumlah banyak.
Selain itu, tujuannya tentu untuk mendapatkan harga singkong yang jauh lebih murah. Seperti yang diungkapkan Yusuf, Ramli, Sepriyadi, dan Zakariah, warga Tulangbawang Barat. Mereka ini memiki sekitar 12 hektare (ha) lahan singkong.
Pada panen minggu lalu, dari 12 ha itu, mereka hanya mendapatkan uang lebih dari selisih biaya dan pendapatan cuma Rp2,9 juta keseluruhan.