Menurut Zulhas, salah satu akar masalah utama adalah pola pengelolaan hasil keuntungan oleh petani. Saat harga kopi sedang tinggi, keuntungan yang diperoleh tidak digunakan untuk pengembangan kebun.
’’Kalau petani Vietnam, uang dari hasil panen dikembalikan ke kebunnya untuk memperbaiki kualitas. Namun, petani kita justru beli rumah, motor, mobil. Kebunnya malah terbengkalai,” ungkap Zulhas.
Akibatnya, kata Zulhas, kualitas kebun dan hasil panen menurun seiring waktu karena kurangnya investasi kembali dalam budi daya dan pengolahan kopi.
Zulhas juga menyoroti rendahnya produktivitas kopi di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), luas panen kopi nasional mencapai 1,25 juta hektare. Namun, rata-rata produksi per hektare masih di bawah satu ton.
’’Produktivitas kita sangat rendah. Saya sudah minta ke Pak Erick agar BUMN bisa bantu menyediakan bibit unggul,” jelasnya terkait produktivitas petani kopi Indonesia.
Lebih lanjut, Zulhas menyatakan pemerintah kini memperluas perhatian ke sektor perkebunan, seperti kopi, kakao, dan kelapa. Ketiga komoditas tersebut, dinilai semakin menguntungkan seiring harga yang tengah naik. ’’Kita tidak hanya urus beras dan jagung. Perkebunan, seperti kopi, kelapa, dan kakao kini jadi perhatian karena nilainya sedang bagus,” ungkap Zulhas.
Zulhas juga mengungkapkan rasa bangganya karena Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah gelaran World of Coffee, sebuah festival kopi berskala global yang biasanya digelar di negara-negara konsumen. "Biasanya di negara konsumen. Namun, sekarang hadir di Indonesia sebagai negara produsen. Ini momen penting,” tegasnya.
Petani kopi Indonesia menghadapi tantangan besar dari sisi manajemen keuntungan dan produktivitas. Tanpa perbaikan menyeluruh, sulit bagi Indonesia untuk melangkah lebih jauh sebagai produsen kopi dunia. (beritasatu.com)