Volvo juga melaporkan lonjakan penjualan sebesar 5,2 persen sementara Subaru melaporkan pertumbuhan penjualan selama 33 bulan berturut-turut.
Meski demikian, penjualan Subaru hanya naik tipis 0,3 persen dibandingkan dengan April 2024, yang merupakan tanda yang mengkhawatirkan bagi merek Jepang tersebut jika dilihat secara kontekstual.
Kepala ekonom Cox Automotive Jonathan Smoke menjelaskan bahwa tarif dan kekhawatiran atas kenaikan harga telah menyebabkan lonjakan penjualan, dengan konsumen bergegas membeli sebelum dampak penuh tarif terasa. "Konsumen mencoba mengamankan pembelian mereka sebelum harga naik lebih jauh," kata Smoke.
Banyak produsen mobil juga terburu-buru menjamin harga hingga Mei dan Juni, dan jelas, pembeli memanfaatkan peluang ini sebaik-baiknya. Smoke yakin bahwa "pasar telah mencapai titik puncaknya" dan penjualan kemungkinan tidak akan mulai turun.
"Sepertinya pasar telah mencapai titik puncaknya, dan saya berpendapat bahwa memang demikian, dan titik puncak itu adalah pasokan yang ketat dan harga yang lebih tinggi," katanya kepada Auto News.
"Tidak seperti 2021, konsumen tidak mampu dan tidak mau terus membeli mobil dengan harga berapa pun. Industri dan Gedung Putih akan segera mendapatkan pelajaran tentang apa yang disebut para ekonom sebagai elastisitas harga," ucap Smoke. (jpc/c1)